Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 (UU APBN) terhadap UUD 1945, Selasa 13 Februari 2007 di ruang sidang MK dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR (Panitia Anggaran dan Komisi X).
Turut hadir dalam persidangan ini antara lain Kuasa Hukum Pemohon Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dkk. dan Pemohon Prinsipil Ketua PB PGRI H. M. Rusli Yunus dkk. Dari pihak Pemerintah, hadir Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Prof. Dr. Ir. Doddy Nandika dan Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan (Depkeu) Achmad Rochjadi. Sedangkan dari pihak DPR RI, hadir Wakil Ketua Komisi X DPR Prof. Anwar Arifin dan Masduki Baidlowi, serta anggota Komisi X DPR Heri Achmadi.
Ihwal permohonan dengan nomor perkara 026/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Prof. DR. H. Mohamad Surya, dkk. ini dilandasi UU APBN 2007 yang dalam lampiran anggarannya menyatakan sektor pendidikan mendapat alokasi dana hanya sebesar 11,8 persen atau berkisar Rp. 90,10 triliun dari APBN Tahun 2007 yang senilai Rp. 763,6 triliun. Hal ini menurut para Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anggaran Jongkok
Menurut pengakuan Baidlowi, dalam pertemuan-pertemuan sebelum memutus berlakunya UU APBN 2007, diketahui bahwa pemerintah tampaknya tak memiliki skenario alternatif untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar dua puluh persen. pemenuhan dua puluh persen ini tak bisa dilakukan karena secara kalkulasi ekonomi, tak memungkinkan, kata Baidlowi mengutip ucapan Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu.
Sementara itu, Heri Achmadi menjelaskan sebenarnya setiap tahun selalu ada peningkatan jumlah APBN. Dan di tiap periode anggaran, terjadi pula kenaikan anggaran pendidikan. Namun, ketika perhitungan itu dilihat secara nilai nominal dan bukan pada nilai persentase, bisa jadi meski ada peningkatan nominal namun secara persentase justru menurun. Bila tiap tahun seperti ini terus, selamanya anggaran pendidikan kita tetap jongkok, jelas Heri.
Selain itu, tambah Heri, yang menambah berat pemenuhan alokasi anggaran pendidikan dua puluh persen karena adanya kompetisi sektoral tiap departemen pemerintah yang juga menginginkan memperoleh anggaran yang besar. Hal ini benar-benar mengakibatkan inefisiensi anggaran, ungkap Heri.
Untuk itu, tambah Anwar, pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen sebagaimana diamanahkan konstitusi harus segera dilaksanakan. MK harus membuat suatu putusan yang lebih tegas, katanya.
Good Will dan Payung Konstitusi
Dalam kesempatan bertanya, Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Hakim Konstitusi Dr. H. Harjono, S.H., MCL. menanyakan hal yang sama, apakah pemerintah tak mempunyai niat membuat skenario anggaran pendidikan dua puluh persen. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. menanyakan bagaimana cara menghitung anggaran, berdasarkan angka atau persentase. Apakah Depdiknas kurang begitu memperjuangkan pemenuhan anggaran dua puluh persen ini? tanya Palguna.
Menjawab pertanyaan para Hakim Konstitusi, Achmad Rochjadi mengatakan bahwa dasar penentuan prioritas rencana kerja pemerintah didasarkan pada janji kampanye Presiden SBY. Dari setiap poin prioritas tersebut, tak selalu suatu program yang menjadi prioritas selalu membutuhkan dana yang lebih besar. Semua itu tergantung dari adanya rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya. Money follow function, jelas Rochjadi.
Sedangkan Prof. Doddy Nandika mengatakan bahwa Depdiknas telah secara serius memperjuangkan pemenuhan anggaran pendidikan dua puluh persen tersebut. Untuk itu kami telah menuangkannya ke dalam rencana strategis pendidikan, ungkapnya.
Menutup tanggapan dari DPR, Anwar Arifin menyatakan bahwa selama belum ada good will dari pemerintah dan tiada prioritas berdasarkan payung konstitusi, maka setiap tahun akan tetap ada judicial review UU APBN supaya anggaran pendidikan terpenuhi sebesar dua puluh persen.
Sebelum Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menutup persidangan, Kuasa Hukum Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi memanggil Mendiknas, Menkeu dan Menhukham serta Kepala Bappenas untuk persidangan berikutnya. Bila perlu, Presiden RI turut dihadirkan dalam persidangan ini yang mulia, ucap Asrun. (Wiwik Budi Wasito)