Kuasa Hukum Rusli Sibua yang menghadiri sidang kedua perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menyampaikan pokok perbaikan permohonan Pemohon. Pada sidang yang digelar Selasa (22/9), Saiful Anam dan kuasa hukum lainnya menyampaikan bahwa Pemohon telah memperbaiki kedudukan hukum (legal standing), argumentasi atau alasan permohonan, dan penambahan petitum permohonan.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin I Dewa Gede Palguna, Saiful Anman selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan Bupati Morotai yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus tindak pidana suap itu. Usai mempelajari Putusan Nomor 6/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, Pemohon memperbaiki legal standing yang dipakai untuk mengajukan permohonan No. 102/PUU-XIII/2015 itu.
Sekarang, Pemohon menggunakan legal standing sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemohon pun dengan lebih jelas memaparkan argumentasi terkait adanya kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) KUHAP dan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
Pasal a quo telah diberlakukan dalam perkara praperadilan dalam Nomor 69 Pit Prap 2015 PN Jakarta Selatan yang sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Putusan PN Jaksel itulah yang kemudian memenjarakan Pemohon. Dengan adanya hubungan sebab-akibat itu, Pemohon yakin bahwa ia memiliki legal standing.
“Dengan demikian terdapat hubungan sebab-akibat causal verband antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP dan Undang-Undang KPK yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah dirugikan,” ujar Saiful.
Argumentasi permohonan terkait Pasal 82 ayat (1) KUHAP juga diperjelas oleh Pemohon. Meski sepintas pasal a quo sudah cukup jelas, Pemohon melihat pada praktiknya pasal tersebut telah menimbulkan pengertian yang multitafsir. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hukum pidana, sifat multitafsir tersebut telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Usai memaparkan pendalaman argumentasi permohonan Pemohon, Saiful juga menyampaikan perbaikan dalam petitum permohonan Pemohon. Usai diperbaiki, Pemohon mengajukan 10 poin permintaan atau petitum permohonan.
Sebelum menutup sidang, Palguna mengesahkan 11 bukti tertulis dari 12 bukti yang diajukan oleh Pemohon. “Jadi, begini karena ini masih dicek lagi terakhir karena yang data yang masih di ada pada Panitera baru yang sampai P-11. Jadi, yang kami akan sahkan dulu bukti P-1 sampai dengan P-11 ya. P-12 nanti sedang dicek lagi dan nanti akan diperiksa untuk selanjutnya disampaikan,” tutup Palguna yang didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Patrialis Akbar.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon menyatakan pasal-pasal yang digugatnya telah disalahartikan saat digunakan dalam penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon.
Atas penetapan status tersangkanya tersebut, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan. Oleh karena itulah, Pemohon menggugat ketentuan tentang definisi permohonan pra peradilan dalam UU KPK dan KUHAP. (Yusti Nurul Agustin)