Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan oleh Sungkono dkk yang merupakan korban lumpur Lapindo. Demikian amar putusan Nomor 63/PUU-XIII/2015 diucapkan oleh Ketua MK Arief HIdayat pada sidang yang digelar Selasa (22/9) di Ruang Sidang MK. Para Pemohon merupakan sejumlah badan usaha dan perorangan yang memiliki tanah dan bangunan yang berada di dalam Peta Area Terdampak (PAT).
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat perkara a quo tidak dapat dipisahkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2014. Pada pokoknya, lanjutnya, menyatakan bahwa negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah Peta Area Terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XI/2013 tersebut, telah dengan tegas disebutkan, bahwa masyarakat yang berada di dalam Peta Area Terdampak (PAT) negara harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Suhartoyo, Pemohon dalam perkara Nomor 83/PUU-XI/2013 terdiri dari perseorangan dan badan hukum privat, dengan demikian Pemohon sebagai pelaku usaha kepentingannya telah diwakili oleh Pemohon dalam perkara Nomor 83/PUU-XI/2013. “Menurut Mahkamah yang dimaksudkan dengan masyarakat dalam Putusan Nomor 83/PUU-XI/2013, bertanggal 26 Maret 2014, adalah sudah jelas dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan penafsiran lain yang justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi adanya permohonan lain yang memberikan penafsiran yang berbeda-beda,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 23B ayat (1), (2), dan (3) UU APBN Tahun 2015. Para Pemohon menilai Pasal 23B ayat (1) UU a quo, telah memposisikan dan mengkategorikan kedudukan hukum dari para Pemohon lebih rendah dibandingkan korban Lumpur Sidoarjo dari unsur rumah tangga. Hal ini karena Pasal 23B ayat (1) yang menempatkan alokasi dana sebesar Rp. 781.688.212.000,- hanya mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap korban lumpur dari unsur rumah tangga saja, tidak termasuk unsur badan usaha.
Padahal, baik tanah dan bangunan milik para Pemohon maupun tanah dan bangunan milik korban dari unsur rumah tangga sama-sama terletak di dalam Peta Area Terdampak (PAT) yang jumlah luasan tanah di dalam PAT tersebut seluas 671 Ha. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengakui dan memasukan nilai tanah dan bangunan milik korban Lumpur Sidoarjo yang berada di dalam PAT secara keseluruhan baik korban dari unsur rumah tangga maupun korban dari unsur pelaku usaha. (Lulu Anjarsari)