Mahkamah Konstitusi menerima pencabutan permohonan Pengujian Pasal 170 ayat (1) KUHP terhadap UUD RI Tahun 1945 yang diajukan oleh Mardhani Zuhri. Ketetapan ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Selasa (22/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan Pemohon. Permohonan Nomor 99/PUU-XIII/2015 yaitu pengujian konstitusionalitas Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditarik kembali,” jelas Arief.
Arief menerangkan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Agustus 2015 telah menerima Surat dari Pemohon perihal Mohon Pencabutan Permohonan Pengujian Pasal 170 ayat (1) KUHPidana terhadap UUD RI Tahun 1945, tanpa tanggal, yang pada pokoknya Pemohon mengajukan permohonan pencabutan atau penarikan kembali untuk Permohonan Nomor 99/PUU-XIII/2015. “Terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, lanjutnya, Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim pada hari Senin, tanggal 14 September 2015, telah menetapkan permohonan penarikan kembali permohonan Nomor 99/PUU-XIII/2015 beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya Pasal 170 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.” Saat ini Pemohon berstatus sebagai tersangka karena diduga telah melakukan suatu kejahatan yaitu memindahkan papan nama dan papan IMB PT. Copylas Indonesia. Padahal menurut Pemohon PT. Copylas Indonesia telah melakukan penyerobotan tanah karena memasuki area dari bidang tanah yang berada di bawah kekuasaan dan pengawasan Pemohon selaku pemegang kuasa dari pemiliknya yaitu PT. Porta Nigra.
Atas tindakan penyerobotan tersebut, Pemohon melaporkan PT. Copylas Indonesia. Namun justru Pemohon diproses dan diperiksa sebagai saksi hingga saat ini statusnya menjadi tersangka. Pemohon menambahkan bahwa dirinya telah mendapatkan perlakuan diskriminatif sebab Direktur PT. Porta Nigra yang memberikan kuasa substitusi kepada Pemohon hanya dijadikan saksi oleh penyidik. Padahal jika memang benar Pemohon selaku penerima kuasa substitusi melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP, maka seharusnya pemberi kuasa juga menjadi tersangka.
Dalam gugatannya, Pemohon juga mempermasalahkan frasa “kekerasan” dalam pasal 170 ayat (1) UU KUHP yang dinilainya tidak memiliki batasan jelas sehingga dapat memunculkan penafsiran yang keliru serta berpotensi disalahgunakan untuk menjerat seseorang. Sebelumnya, Mahkamah menggelar sidang pendahuluan untuk perkara a quo pada Rabu (26/8) untuk mendengarkan penyampaian permohonan oleh Pemohon. Namun demikian, sampai dengan sidang digelar Pemohon ataupun kuasa hukumnya tidak hadir tanpa pemberitahuan. (Lulu Anjarsari)