Para pustakawan dan calon pustakawan Perpustakaan Nasional berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/9) siang. Pustakawan MK, Hanindyo menerima kunjungan tersebut di aula Gedung MK. Pada kesempatan itu Hanindyo menjelaskan awal terbentuknya perpustakaan di MK Republik Indonesia (MKRI).
Mengenai pendanaan awal pendirian perpustakaan MKRI dianggarkan dana sebesar Rp 30 miliar. Ketua MK saat itu, Prof. Jimly Asshiddiqie menghendaki perpustakaan MKRI menjadi perpustakaan hukum terlengkap di dunia.
Awal berdirinya, perpustakaan MKRI hanya memiliki satu orang pengelola dan hanya tersedia 200 eksemplar buku, serta menggunakan ruangan 4 x 6 meter persegi. Pada 2005 sumber daya manusia (SDM) di perpustakaan MKRI menjadi 3 orang dan koleksi-koleksi buku bertambah menjadi 1500 eksemplar dengan satu unit komputer. Pada 2007 perpustakaan MKRI menempati ruangan baru di lantai 5.
Kemudian pada 2008 terjadi pengembangan ruang di lantai 6 dengan desain khusus, 4 sumber daya manusia (SDM), jumlah koleksi buku mencapai 7000 eksemplar dan terpasang Sistem Pengaman (RFID). Pada 2009 terjadi pengembangan lantai 6 dan 16, dengan lima sumber daya manusia (SDM), dan untuk jumlah koleksi buku menjadi 12.000 eksemplar ditambah dengan koleksi e-book.
“Perpustakaan MKRI memiliki koleksi ribuan judul buku. Perpustakaan MKRI juga menjalin kerja sama dengan berbagai perpustakaan dan lembaga, baik di Indonesia maupun luar negeri,” kata Hanindyo.
Hanindyo mengungkapkan, kehadiran perpustakaan MKRI hadir bersamaan dengan berdirinya MK untuk memberi dukungan kepada peneliti MK dan Hakim Konstitusi. Perpustakaan MK juga memiliki fungsi untuk memberikan masukan literatur yang tepat terhadap perkara yang sedang diuji.
Koleksi buku yang dimiliki perpustakaan MKRI berasal dari pengadaan barang MKRI, pemberian dari Hakim Konstitusi serta pemberian dari mantan Hakim Konstitusi. Selain itu dalam upaya mempromosikan perpustakaan MKRI kepada masyarakat, perpustakaan MKRI mengikuti sejumlah pameran di berbagai kegiatan.
“Kami juga mengundang berbagai penerbitan dalam dan luar negeri untuk memberikan daftar buku khususnya tentang hukum. Daftar buku itu diseleksi bersama oleh peneliti MK dan Hakim. Ketika sudah ada judulnya, baru diserahkan ke Sekjen MK untuk dibeli,” urai Hanindyo.
Usai penyampaian materi oleh Hanindyo, rombongan dari Perpustakaan Nasional diajak untuk melihat Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 5 dan 6 Gedung MKRI. Pusat Sejarah Konstitusi merupakan kompilasi segala jenis bentuk dokumentasi yang berkaitan dengan sejarah konstitusi dan kemudian divisualisasikan melalui sarana teknologi terkini dan modern. Sehingga masyarakat yang mengakses nantinya, dapat memiliki gambaran komprehensif sejarah konstitusi di Indonesia.
Pusat Sejarah Konstitusi didesain untuk menghadirkan sejarah konstitusi di tengah-tengah masyarakat sejak merintis kemerdekaan hingga kiprah Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam mengawal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Data dan sejarah ditampilkan dengan visualisasi yang mudah dipahami dan tampilan audiovisual yang inovatif dan lebih menarik.
Di samping itu, Pusat Sejarah Konstitusi didukung multimedia dan teknologi informasi yang terbaru. Fasilitas tini dibagi delapan zona yakni Zona Prakemerdekaan, Zona Kemerdekaan, Zona Undang-Undang Dasar 1945, Zona Konsitusi RIS, Zona UUD Sementara 1950, Zona Kembali ke UUD 1945, Zona Perubahan UUD 1945, Zona Mahkamah Konstitusi. (Nano Tresna Arfana)