Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melakukan pemeriksaan pendahuluan pengujian pasal-pasal tentang hukuman mati yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Selasa, 6 Februari 2007 di ruang sidang MK.
Sebelumnya, Pengacara Todung Mulya Lubis mengajukan uji materi pasal-pasal tentang hukuman mati dalam UU Narkotika melalui perkara No. 2/PUU-V/2007. Kini, giliran Denny Kailimang, S.H., M.H. dkk. selaku Kuasa Hukum dari Scott Anthony Rush, warga negara Australia yang telah dijatuhi vonis pidana mati oleh Mahkamah Agung dan kini menempati Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Bali, melakukan hal yang sama melalui perkara No. 3/PUU-V/2007.
Dalam permohonan yang dibacakan Kuasa Hukum Harry Ponto, S.H., M.H., Pemohon menjelaskan, meski dirinya bukan warganegara Indonesia sesuai syarat yang ditentukan untuk melakukan uji undang-undang dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, namun bagi Pemohon, UUD 1945 tak hanya berlaku untuk warganegara Indonesia saja tetapi terhadap setiap orang yang berada di wilayah hukum Indonesia. Oleh karena itu, menurut Pemohon, selain setiap orang harus tunduk pada ketentuan hukum Indonesia yang bersumber pada UUD 1945, siapapun yang diadili berdasarkan hukum Indonesia berhak mengajukan upaya hukum apapun yang tersedia tanpa adanya diskriminasi/diskualifikasi.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a, sepanjang menyangkut kata-kata:
pidana mati
bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945 serta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terkait dengan ketentuan Pasal 51 UU MK, Hakim Anggota Panel Dr. H. Harjono, S.H., MCL. menyarankan Kuasa Hukum Pemohon untuk mengelaborasi lebih dalam dan memperkuat argumentasi perihal tafsir warga negara yang terdapat dalam pasal tersebut. Pemohon juga bisa mempermasalahkan secara hukum (mengajukan uji materi red.) Pasal 51 jika dianggap menghambat warga negara asing untuk berperkara di MK, jelas Harjono.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel H. Achmad Roestandi, S.H. meminta Pemohon memperbaiki petitumnya dengan menambahkan kata atau dalam kalimat
pidana mati
sehingga terbaca
atau hukuman mati
. Bila hanya mengajukan kata pidana mati saja, maka bila permohonan dikabulkan, dalam UU Narkotika itu masih akan terbaca kata atau, tambah Roestandi.
Ketika Kuasa Hukum Denny Kailimang mengusulkan untuk menyidangkan perkara ini bersama dengan perkara yang diajukan Todung, Hakim Ketua Panel Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. menjelaskan perihal adanya dua kemungkinan. Pertama, dua nomor perkara itu bisa digabung menjadi satu dengan mengubah status permohonan dari perorangan menjadi kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Kedua, nomor perkara tetap dipisah namun pemeriksaan perkara dilakukan bersama. Hal ini pernah Mahkamah lakukan ketika menguji UU Sumber Daya Air. Jika memutuskan digabung, hal ini bisa dilakukan melalui penetapan Mahkamah, kata Mukthie sebelum menutup persidangan. (Wiwik Budi Wasito)