JAKARTA – Format Pilkada Serentak membuat jumlah perkara yang akan masuk ke MK dibatasi hanya untuk menyelesaikan perselisihan sengketa hasil.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat mengatakan undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sudah membatasi perkara yang masuk ke MK yang tertuang secara rinci di pasal 158. Sehingga perkara yang masuk ke MK memang betul-betul perkara perselisihan hasil
“Jadi, sebetulnya undang-undang itu sudah membatasi perkara yang bisa masuk ke MK. Ada presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif perkara-perkara yang bisa sampai di MK. Karena diharapakan persoalan yang lain sudah diselesaikan pada tingkatan masing-masing baik di Bawaslu, PTUN dan Gakkumdu (penegakan hukum terpadu yang terdiri dari tiga unsur yakni kepolisian, kejaksaan dan Bawaslu),” jelas Arief di MK di Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (17/9/2015).
Arief menjelaskan jika ada 266-an daerah yang melakukan Pilkada, maka 300 perkara merupakan angka yang ideal untuk diselesaikan. Ia mengasumsikan jumlah 300 perkara itu jika di satu daerah memiliki dua hingga tiga calon, berkemungkinan dua di antaranya mengajukan perkara. “Tapi kita harapkan tidak sampai 300 perkaralah karena presentase yang diatur undang-undang itu jumlahnya sangat terbatas,” kata Arief.
Menurut Arief prosedur perkara yang diterima di MK akan berbeda dari penanganan perkara perselisihan sengketa hasil yang ada di tahun-tahun sebelumnya. Jika dulunya ada syarat terstruktur sistematis, dan masif, pada penyelesaian sengketa pada pilkada serentak ini hanya akan menyelesaikan perselisihan angka-angka saja. Untuk persoalan lainnya lanjut dia sudah diselesaikan oleh lembaga lain yang berwenang.
“Jadi persoalan lainnya sudah diselesaikan ditingkat sebelumnya, oleh lembaga yang diberikan wewenang untuk itu. Misalnya masalah calon diselesaikan di PTUN, masalah etik di DKPP, dan pidana itu di gakkumdu,” terangnya.
Kendati demikian, menurutnya dalam penyelesaian perkara perselisihan ini nantinya tidak akan lebih cepat walaupun prosedurnya sudah berbeda. Hal ini juga merujuk kepada undang-undang yang dibatasi selama 45 hari.
“Ya tidak cepat, dalam UU kan dibatasi 45 hari. Dalam 45 hari kita simulasikan juga bisa kita selesaikan. Kita berpegang pada UU, nantinya Peraturan MK akann menjabarkan undang-undang. Kalau jumlahnya 300 Itu bisa selesai, maka persidangannya kita bagi tiga panel. Dulu saja Pileg 900 perkara,” jelasnya.