Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Kamis 1 Februari 2007 pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK. Persidangan ini mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan.
Permohonan dengan nomor perkara 2/PUU-V/2007 ini diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Krobokan, Kuta, Bali.
Para Pemohon tersebut diwakili Kuasa Hukumnya, Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M., dan Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., M.H., merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Narkotika di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
Putusan hukuman mati bagi para Pemohon didasarkan pada pasal-pasal ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (in kracht van gewijsde). Namun terhadap diri para Pemohon belum dilaksanakan hukuman mati. Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan bahwa putusan hukuman mati tersebut jelas sangat merugikan kepentingan dan hak konstitusional para Pemohon untuk hidup, sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a UU Narkotika bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, serta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, terkait dengan adanya Pemohon berkewarganegaraan asing, Todung menjelaskan bahwa banyak hal yang asasi dan fundamental terkait hak asasi manusia, salah satunya tentang hak hidup, yang sebenarnya tak semata menjadi hak warga negara (citizens rights) saja, tetapi menjadi hak setiap orang (human rights). Oleh karenanya, dalam persidangan ini kami meminta masukan dari majelis hakim terkait dengan batasan ketentuan legal standing yang diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kata Todung.
Menanggapi Todung, Ketua Hakim Panel Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. menyarankan supaya Kuasa Hukum Pemohon menambahkan argumentasi terkait hak warga negara asing untuk menguji undang-undang, yang bisa dilakukan dengan cara menguraikan referensi-referensi dari negara lain. Kalau ingin menguji Pasal 51 (UU MK), ya silahkan saja. Hal ini baik demi perkembangan hukum Indonesia, papar Mukthie.
Menyambung penjelasan Mukthie, Hakim Anggota Panel H. Achmad Roestandi, S.H. mencontohkan bahwa dibatalkannya Pasal 50 UU MK merupakan upaya awal Pemohon (pada waktu itu) sebelum menguji undang-undang yang eksis sebelum perubahan UUD 1945. Hal yang sama, juga bisa dilakukan Pemohon dalam kasus ini, tambah Roestandi.
Menanggapi masukan tersebut, Todung menyatakan terpanggil dan akan mencoba melakukan proses terobosan hukum melalui MK, terkait dengan legal standing uji materi undang-undang khususnya yang terkait dengan hak asasi manusia. (Wiwik Budi Wasito)