Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM Depok pada Kamis (17/9) siang. Kedatangan para mahasiswa tersebut disambut Panitera Pengganti MK, Cholidin Nasir. Di hadapan para mahasiswa, Cholidin menguraikan sejarah panjang gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia yang bermula dari Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803.
Kasus Marbury vs Madison berawal saat Presiden Amerika Serikat waktu itu John Adams dikalahkan oleh rivalnya Thomas Jefferson. Sebagai pihak yang kalah, John Adams mengumpulkan orang-orang dekatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Amerika Serikat. Pada malam sebelum diadakan serah terima jabatan, Presiden John Adams telah membuat surat keputusan.
Keesokan harinya, saat jabatan presiden sudah diserahterimakan ke Thomas Jefferson, surat keputusan pengangkatan tersebut ternyata belum disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan. Thomas Jefferson sudah resmi menjabat sebagai Presiden baru. Namun, Jefferson kemudian menahan untuk menyerahkan surat keputusan pengangkatan yang dibuat John Adams tersebut. Akhirnya, Marbury selaku salah satu orang yang diangkat menjadi hakim meminta kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat agar memerintahkan Pemerintah melaksanakan tugas (writ of mandamus) untuk menyerahkan surat pengangkatan tersebut.
Tapi yang terjadi, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak gugatan Marbury. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung Amerika Serikat malah menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat dimaksud. Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan writ of mandamus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung Amerika Serikat, tidak dapat dibenarkan karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Pembatalan ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung Amerika Serikat kemudian menimbulkan pro kontra berbagai pihak.
Peristiwa itu pun kemudian jadi landasan adanya pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Bertahun-tahun kemudian, pada 1920 berdirilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Tepatnya di Austria berdasarkan gagasan Hans Kelsen, pakar hukum tata negara.
“Berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi atau sejenisnya merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat atas perlindungan hak konstitusional. Di banyak negara yang menganut sistem hukum modern, perlindungan terhadap hak warga negara dilindungi sepenuhnya dengan memberikan kewenangan MK atau lembaga sejenisnya untuk melakukan pengujian constitusional complaint,” papar Cholidin.
“Umumnya negara Eropa seperti Jerman dan Austria telah melayani permohonan constitusional complaint yang diajukan oleh warga negara. Pada kasus constitusional complaint, seorang warga negara bisa menguji hal apapun, baik itu kebijakan, surat putusan, bahkan putusan Mahkamah Agung dapat dibatalkan selama hal itu bertentangan dengan UUD,” imbuh Cholidin.
Cholidin mengungkapkan, dalam setahun tercatat MK Jerman telah menangani 6000 sampai 10.000 kasus pengaduan konstitusional (constituonal complaint). Hal ini dimungkinkan karena MK Jerman dan Austria memiliki jumlah Hakim Konstitusi yang sangat banyak. Namun kewenangan sejenis, belum dapat dilakukan oleh MK di Indonesia karena belum diatur dalam UUD 1945.
“Meski MK Indonesia belum dapat menangani kasus constitusional complaint, namun masyarakat tetap dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang yang secara substansi dapat dikatakan menyerupai constitusional complaint. Seperti pada putusan MK yang membatalkan UU Ketenagalistrikan secara keseluruhan. Hal itu dapat dikatakan menyerupai constitusional complaint,” imbuh Cholidin.
Sejauh ini, kata Cholidin, MK telah melakukan tugasnya dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945 dan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Sementara satu kewenangan dan satu kewajiban lainnya, yakni pembubaran partai politik dan pemakzulan belum pernah dilakukan MK. (Nano Tresna Arfana/IR)