JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, menilai keberadaan delik korupsi dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diusulkan oleh pemerintah kepada DPR membuat masyarakat trauma akan penegakan hukum di Indonesia. Abdullah menilai hal tersebut mengingatkan masyarakat kembali terhadap 13 judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan keberadaan Undang-Undang KPK.
"Saya catat 13 kali judicial review itu, cuma hanya ada 2 yang menyangkut kepentingan KPK, yaitu ketika Pak Chandra dan Pak Bibit terkena kasus 'Cicak vs Buaya'. Kedua, Pak Busyro yang baru setahun sudah digantikan karena mengikuti periode jilid II. Padahal, seharusnya masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun, tidak boleh mengikuti periode kepemimpinan sebelumnya," ujar Abdullah dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/9/2015) kemarin.
Adapun 11 judicial review lainnya, kata Abdullah, merupakan upaya untuk melemahkan kewenangan KPK. Menurut dia, wajar kalangan masyarakat sipil seperti para pegiat antikorupsi menjadi trauma dan curiga terhadap keberadaan revisi KUHP saat ini.
Ia menuturkan, pada saat draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diajukan, ada beberapa pasal yang dinilai dapat menghambat kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Salah satu pasal itu mengatur KPK sebagai lembaga hukum di bawah kontrol pengadilan negeri dan penuntutan KPK berada di bawah kontrol Kejaksaan Agung.
Abdullah mengatakan, jika revisi tersebut disetujui oleh DPR, maka akan menimbulkan masalah baru. Terkait penyadapan, misalnya, KPK harus meminta izin dulu dari pengadilan negeri atau kejaksaan agung.
Selain itu masalah lain adalah soal penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap suatu perkara kasus korupsi. Abdullah menilai Pasal 3 ayat 2 dalam RUU KUHAP memberi kesan tidak ada hukum acara khusus yang bisa dilakukan oleh KPK.
"Misal untuk melakukan penyitaan itu harus izin ke hakim komisaris, ini berarti ada persoalan. Koruptor itu kan punya kelompok, mereka punya akal. Punya bawahan dalam beberapa waktu saja mereka bisa hilangkan alat bukti, sehingga itu menyulitkan kalau penyitaan itu harus izin ke hakim komisariat atau pengadilan," kata Abdullah.
Mengenai penggeledahan, Abdullah sepakat bila kewenangan tersebut harus mendapatkan izin dari pengadilan sebagai upaya menghormati privasi seseorang.
Abdullah menyarankan agar hukum di Indonesia tetap menganut kodifikasi terbuka (pemisahan tindak pidana umum dan khusus). Menurut dia, sistem hukum kodifikasi terbuka jauh lebih baik dan bisa beradaptasi dalam menjawab potensi-potensi kejahatan baru seiring perkembangan zaman.
Jika revisi KUHP disetujui oleh DPR, Abdullah meminta agar tindak pidana khusus seperti korupsi harus dijelaskan secara rinci dalam pasal-pasal KUHP dan tetap ditangani oleh lembaga penegak hukum khusus seperti KPK.
"Jadi menurut saya amandemen undang-undang apa saja harus difokuskan dalam konteks penguatan. Dalam konteks tersebut, maka payung KUHP ini kita kuatkan. Ketika dilakukan revisi KUHP, maka cukup disampaikan dalam satu pasal saja, tetapi disebutkan rinci," ujar Abdullah.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/16/08273881/Delik.Korupsi.dalam.Revisi.KUHP.Dapat.Membuat.Masyarakat.Trauma