[JAKARTA] Anda pasti tahu bahwa saat ini kita memiliki empat undang-undang (UU) yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu).
Terkadang di antara UU itu saling tumpang tindih. Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Inisiatif Kodifikasi UU Pemilu yang terdiri dari Perludem, JPPR, Puskapol UI, IPC, Kode Inisiatif, KPI, SP, POPULI Center, CSIS, PPUA Penca, LP3ES, dan lain-lain memperjuangkan penyelenggaraan pemilu yang lebih sederhana.
Salah satu gagasan yang mengiringinya adalah kodifikasi atau penyatuan berbagai undang-undang pemilu ke dalam satu naskah undang-undang tentang pemilu.
“Sebab, terdapat hubungan logis di antara keduanya, jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan,” kata Lia Wulandari dari Perludem dalam rilis yang diterima SP di Jakarta, Kamis (17/9).
Menurut Lia, dalam hal penyederhanaan undang-undang ini terdapat dua pilihan.
Pertama, undang-undang pemilu terdiri dari tiga undang-undang, yaitu undang-undang penyelenggara pemilu, undang-undang pemilu nasional, dan undang-undang pemilu daerah; atau
Kedua, semua undang-undang pemilu dikodifikasi menjadi satu kitab undang-undang pemilu.
“Dengan berbagai pertimbangan koalisi masyarakat sipil menjatuhkan pada pilihan kedua,” katanya.
Saat ini, lanjut Lia, ada beberapa UU yang tersebar mengatur penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Di antaranya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 15/2011), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012).
Lalu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Komplikasi Pengaturan
Dijelaskan, penyelenggaraan pemilu legislatif yang dilanjutkan dengan pemilu presiden pada Pemilu 2014 telah menimbulkan komplikasi-komplikasi tersendiri akibat dasar hukum penyelenggaraan pemilu yang tidak setara.
Di satu pihak, UU No 8 Tahun 2012 sebagai dasar penyelenggaraan pemilu merupakan undang-undang pemilu terbaru dan terlengkap.
Di pihak lain, UU No 42 Tahun 2008 sebagai dasar penyelenggaraan pemilu presiden merupakan undang-undang lama dan banyak kekurangan.
“Ketimpangan itu terjadi, terutama dalam mengatur pelaksanaan tahapan pemilu, khususnya pendaftaran pemilih dan pemungutan dan penghitungan suara, serta dalam penegakan hukum pemilu,” kata Lia.
Dalam hal ini, Perludem melihat tidak terdapat standar pengaturan yang sama, padahal pemilu presiden merupakan kelanjutan pemilu legislatif.
Dalam soal pendaftaran pemilih misalnya, UU No 42 Tahun 2008 tidak mengenal konsep daftar pemilih khusus (DPK) sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2012.
Lalu dalam rekapitulasi penghitungan suara, UU No 42 Tahun 2008 tidak mengenal rekapitulasi penghitungan suara di desa/kelurahan (Panitia Pemungutan Suara, PPS) sebagaimana diatur dalam UU No. 8/2012.
Dalam penegakan hukum pemilu juga, kata dia, UU No 42 Tahun 2008 tidak mengenal Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan Perselisihan Tata Usaha Negara Pemilu sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2012.
Lia lebih jauh mengatakan, sebelum pelaksanaan pemilu presiden, KPU berkali-kali menegaskan bahwa ketiadaan aturan tentang DPK dan rekapitulasi penghitungan suara di desa/kelurahan sudah diakomodasi oleh UU No 15 Tahun 2011.
Sedangkan tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan Perselisihan Tata Usaha Negara Pemilu tidak diperlukan dalam pemilu presiden.
Meskipun demikian, setelah hasil pemilu presiden diumumkan, soal DPK dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTB) yang diatur dalam Peraturan KPU, menjadi sorotan tajam dalam sidang gugatan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
MK memang menolak seluruh gugatan dan mengukuhkan keputusan KPU tentang hasil pemilu presiden. Namun demikian perdebatan tentang kekosongan, tumpang tindih, dan kontradiksi hukum dalam Pemilu Presiden 2014 tidak boleh terjadi lagi.
“Di sinilah kodifikasi undang-undang pemilu menjadi solusi yang komprehensif,” kata dia.
Pemilu Serentak 2019
Sebelumnya, melalui Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014, secara tidak langsung MK mendorong semua pemangku kepentingan pemilu untuk melakukan kodifikasi undang-undang pemilu.
Putusan tersebut menyatakan, bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak konstitusional, sehingga pada Pemilu 2019, penyelenggaraan dua pemilu itu harus diserentakkan.
“Tentu sangat aneh jika pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung bersamaan waktu, tetapi undang-undang yang mengaturnya berbeda,” kata Lia.
Memang dalam penyatuan undang-undang pemilu tersebut masih terdapat perdebatan tentang keberadaan pengaturan pemilu kepala daerah.
Ini berkaitan dengan pandangan Kementerian Dalam Negeri, yang menempatkan pilkada sebagai bagian dari otonomi daerah, sehingga pengaturannya pun harus dipisahkan dari pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pandangan ini sesungguhnya menutup mata bahwa selama ini pilkada diselenggarakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, dan sama sekali tidak mengurangi kekuasaan mengatur pemerintahan daerah.
Lebih dari sekadar soal siapa yang menguasai penyelenggaraan pilkada pengaturan pilkada ke dalam satu naskah undang-undang pemilu bersama pengaturan pemilu legislatif dan pemilu presiden, jelas lebih banyak manfaatnya.
Selain untuk menghindari kekosongan, tumpang tindih, dan kontradiksi pengaturan, pengaturan pilkada dalam satu naskah undang-undang pemilu juga dapat menjaga kesamaan standar pengaturan dalam penyelenggaraan semua jenis pemilu, khususnya dalam pelaksanaan tahapan dan penegakan hukum.
Yang lebih mendasar lagi, kata dia, penyatuan pengaturan pilkada ke dalam satu nasakah undang-undang pemilu juga memudahkan perumusan asas dan tujuan seluruh pemilu serta pemformatan penyelenggaraan pemilu.
“Sebab, dengan kejelasan tentang asas, tujuan, dan format penyelenggaraan pemilu, maka akan memudahkan pemilihan sistem pemilihan dan memerinci pelaksanaan tahapan,” katanya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, lanjut Lia, semestinyalah substansi pilkada masuk ke dalam naskah kodifikasi undang-undang pemilu.
Penyatuan pengaturan pilkada ke dalam naskah kodifikasi undang-undang pemilu adalah dengan kesadaran bahwa sebagai hasil pemilu, kepala daerah merupakan pejabat pemerintahan daerah yang harus menjalankan roda pemerintahan bersama anggota DPRD yang juga merupakan hasil pemilu.
Pandangan yang berkukuh bahwa DPRD adalah produk “rezim pemilu” dan kepala daerah adalah produk rezim “otonami daerah” selain anomali dengan realitas politik pemerintahan daerah sehari-hari, juga menjauhkan usaha-usaha untuk membentuk pemerintahan daerah yang efektif demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Lia mengatakan, argumen penting dari perlunya perumusan naskah kodifikasi undang-undang pemilu adalah betapa masih banyak masalah, mulai dari tataran konsep sampai teknis perumusan pasal dan ayat dalam penyusunan undang-undang pemilu kita, meskipun semua undang-undang pemilu tersebut telah berhasil membangun tonggak-tonggak pemilu demokratis dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.
Prolegnas 2016
Dikatakan, membiarkan pengaturan pemilu secara berserakan sama saja dengan membuka peluang pemilu kita untuk tidak tertata dengan baik.
Karenanya, gagasan kodifikasi undang-undang pemilu mendesak untuk dimasukkan menjadi prioritad legislasi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2016.
Sebab tantangan terdekat sudah di depan mata. Pemilu serentak 2019 menunggu, dan waktu pembahasan undang-undang tentu tidaklah sebentar. Belajar dari Pemilu Legislatif 2014 pembahasan UU No. 8/2012 yang mengatur penyelenggaraannya sekurangnya membutuhkan waktu selama 2 (dua tahun). Dengan demikian pembahasan Kodifikasi Undang-Undang Pemilu harus dimulai paling lambat tahun 2016.
“Dan langkah awal untuk memastikan pembahsannya adalah dengan memasukkab penyusunan Kodifikasi Undang-Undang Pemilu dalam prioritas Prolegnas Tahun 2016,” kata Lia Wulandari. [PR/L-8]
Sumber: http://sp.beritasatu.com/politikdanhukum/koalisi-ingin-hanya-ada-satu-uu-pemilu/96502