Otto Cornelis Kaligis merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang perdana perkara dengan Nomor 110/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Rabu (16/9), di Ruang Sidang MK.
Pemohon yang merupakan terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK. Pasal 46 ayat (2) UU KPK menyatakan “Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka”.
Pemohon yang diwakili Muhammad Ruliandi sebagai kuasa hukum menilai Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka. Namun ternyata, lanjut Ruliandi, ketentuan tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai uraian hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal menurut Pemohon, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut prinsip asas kepastian dan perlindungan, harus memberikan jaminan hak konstitusional terhadap seseorang yang masih berstatus sebagai tersangka.
“Dengan demikian, Pemohon menganggap ketentuan a quo berpotensi mengakibatkan terjadinya pengabaian hak tersangka dan kerugian hak konstitusional terhadap Pemohon,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.
Pemohon kemudian berpendapat, ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK berpotensi membatasi hak-hak tersangka karena dapat ditafsirkan secara luas, terlebih apabila penafsiran dilakukan dengan kepentingan politik. Pemohon juga menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dalam arti hak-hak tersangka sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal 59 KUHAP, khususnya terkait dengan hak untuk mengajukan penangguhan penahanan karena tidak menjamin kepastian hukum.
“Adapun dalam hal ini fakta-fakta yang kami dapatkan bahwa dengan alasan-alasan kemanusian, dengan alasan kesehatan, Pemohon dalam hal ini tidak mendapatkan izin untuk berobat di rumah sakit, dan mengingat adanya hak-hak tersangka yang dijamin dalam Undang-Undang KPK, dalam hal ini sekalipun mengenai penangguhan penahanan, apakah dimungkinkan hal itu dimaknai bahwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hukum acara yang melekat pada Undang-Undang KPK itu sendiri,” terangnya.
Untuk itulah, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 46 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk hak-hak tersangka yang dijamin oleh KUHAP, khususnya terkait dengan hak untuk mengajukan penangguhan penahanan.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan jika yang dipermasalahkan mengenai penangguhan penahanan ataupun tidak adanya izin, maka hal itu tidak terkait dengan konstitusionalitas norma. “KPK dalam beberapa hal tentang kunjungan tahanan, itu membuat ketentuan-ketentuan yang memang tidak sesuai dengan KUHAP. Apakah itu yang kemudian dipersalahkan norma undang-undangnya? Sedangkan KUHAP mengatakan bahwa penasihat hukum dapat setiap saat bertemu, berkonsultasi untuk memberikan bantuan hukum tapi dalam kenyataannya, KPK membuat aturan-aturan yang memang itu dengan pertimbangan keamanan atau pertimbangan lain, kita tidak tahu,” terangnya.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta Pemohon untuk memfokuskan permohonan pada hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini, lanjut Palguna, berefek pada kedudukan hukum Pemohon. “Itulah yang dipertajam di bagian uraian mengenai legal standing sehingga ketika Anda tiba di bagian akhir untuk memenuhi lima syarat itu bahwa ini ada hak yang spesifik yang dikemukakan. Kemudian hak itu dirugikan secara aktual atau kompetensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan itu jelas hubungan kausalitasnya. Sehingga apabila itu dikabulkan permohonannya, maka kerugian itu tidak lagi atau tidak akan terjadi,” tandasnya.
Majelis Hakim memberi waktu 14 hari kerja bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan sidang perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/IR)