Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu). Sidang perbaikan permohonan tersebut dimohonkan oleh dua orang pegiat pemilu, Titi Anggraini dan Heriyanto.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan itu, Pemohon menegaskan telah memperkuat kedudukan hukumnya (legal standing). Pemohon mengatakan, kedudukannya adalah sebagai pemilih. “Para Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum serta pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” ujar Titi pada sidang perkara nomor 101/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (16/9).
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), dan Pasal 121 ayat (3) dalam UU Penyelenggara Pemilu telah mengakibatkan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Kerugian ini antara lain tidak terfasilitasinya pemenuhan hak pilih pemilih untuk mendapatkan pemilu yang jujur dan adil, serta pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis oleh lembaga yang independen dan mandiri. Sebab, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan umum harus melalui proses konsultasi dengan Pemerintah dan DPR.
Proses konsultasi tersebut, imbuh Pemohon, ternyata juga tidak menjamin keputusan politik DPR dan pemerintah yang konsisten untuk melindungi kebijakan KPU dalam mengakomodasi hak pilih para pemilih. “Hal ini dibuktikan dengan peraturan KPU tentang pemungutan dan perhitungan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah melalui proses konsultasi di DPR dan pemerintah tetap dipermasalahkan pada PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Selain itu, proses konsultasi dengan Pemerintah dan DPR dinilai Pemohon telah membuat KPU terintervensi dalam membuat peraturan KPU terkait verifikasi partai politik yang menabrak ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemerintah dan DPR meminta agar tidak dilakukan verifikasi faktual terhadap kepengurusan di 50% kecamatan pada masing-masing daerah lantaran partai politik yang ada tidak siap dalam kepengurusan di tingkat kecamatan.
Lebih lanjut, Pemohon mengungkapkan ketentuan dalam UU Penyelenggara Pemilu yang diujikan pun mengandung sifat diskriminasi. Sebab, dari semua lembaga yang memiliki kewenangan membuat peraturan lembaga, hanya KPU, Bawaslu, dan DKPP yang diwajibkan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Pemohon mencontohkan ketika MK membuat peraturan, maka tidak harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR maupun pemerintah. “Jadi, kami melihat dalam konteks negara hukum ada diskriminasi di sana,” tegasnya.
Kendati demikian, Pemohon berpendapat, dalam upaya menciptakan transparansi atas pembuatan regulasi, KPU tetap dapat bersinergi dengan pemangku kepentingan. Sinergi tersebut dapat diwujudkan dengan sistem rapat yang digelar terbuka untuk tetap menjaga netralitas dan integritas KPU. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘bersifat fakultatif dan dilaksanakan secara terbuka kepada publik’.
Pada sidang perdana, Pemohon menyatakan Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu telah merugikan kewenangan konstitusional dan kemandirian KPU, Bawaslu, dan DKPP. “Tiga norma tersebut menyebabkan terganggunya kinerja penyelenggara pemilu yang pada akhirnya dapat merugikan atau setidaknya menghambat penyelenggaran pemilu. Selain itu, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan penyelenggara pemilu,” papar Heriyanto di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (3/9).
Pasal 119 ayat (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pasal 120 ayat (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pemohon berpendapat proses konsultasi dengan DPR dan Pemerintah secara langsung telah mempengaruhi kemandirian di 3 lembaga tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan usaha DPR melakukan intervensi kepada KPU dalam proses konsultasi terhadap Peraturan KPU terkait pencalonan demi mengakomodasi kepentingan partai politik yang tidak mendapat legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM.
KPU dipaksa oleh DPR dalam hal ini Komisi II DPR RI untuk mengatur hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. KPU dipaksa untuk menabrak undang-undang dengan mengharuskan KPU untuk mengakomodir pengajuan pasangan calon kepala daerah dari partai politik yang memiliki kepengurusan ganda,” ujarnya. (Lulu Hanifah/IR)