Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Otto Cornelius Kaligis menggugat dua undang-undang sekaligus ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua undang-undang yang digugat yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—perkara No. 108/PUU-XIII/2015, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)—perkara No. 109/PUU-XIII/2015. Mahkamah kemudian menggabung pemeriksaan kedua perkara ini dalam sidang yang digelar pada Rabu (16/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Muhammad Ruliandi selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok permohonan. Pada perkara No. 108/PUU-XIII/2015, Pemohon merasa keberatan dengan adanya frasa “serangkaian tindakan penyidik” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP.
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP telah menimbulkan pengertian yang sifatnya multitafsir dan melanggar asas lex certa (dirumuskan secara jelas dan rinci) serta lex stricta (ditafsirkan seperti apa yang tertulis) sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Sifat multitafsir tersebut khususnya terdapat pada frasa “serangkaian tindakan Penyidik”.
Pemohon menilai, serangkaian tindakan Penyidik haruslah ditafsirkan secara jelas karena penetapan seseorang sebagai tersangka pun dilakukan atas suatu perbuatan yang jelas tindak pidananya. Sehingga, serangkaian tindakan seperti apa yang jelas definisinya barulah dapat digunakan untuk memastikan bahwa seorang tersangka melakukan tindak pidana.
Ketidakjelasan frasa “serangkaian tindakan penyidik” ini menurut Pemohon telah dialaminya, yakni pada saat Ia ditangkap. “Adapun frasa kata ‘serangkaian tindakan penyidik’, kami menyimpulkan terjadi potensi multitafsir di mana frasa serangkaian tindakan penyidik berkaitan langsung dengan Pemohon yang saat ini sedang berstatus sebagai terdakwa di mana pada saat terjadinya proses dimulai dari rangkaian penyidikan. Terdapat prosedur-prosedur yang tidak jelas apakah prosedur tersebut betul-betul dilaksanakan sesuai dengan perintah norma hukum Pasal 1 angka 2 khususnya sepanjang frasa serangkaian tindakan penyidik,” ujar Ruliandi.
Saat ditangkap, lanjut Ruliandi, Pemohon ditangkap tanpa adanya Surat Perintah Penangkapan. Kemudian Pemohon langsung ditetapkan sebagai tersangka saat dibawa ke Gedung KPK. Oleh karena itulah, Pemohon merasa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka belum memenuhi kaidah dalam serangkaian kegiatan penyidik seperti yang dimaksud Pasal 1 angka 2 KUHAP.
Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon meminta Pasal 1 angka 2 KUHAP sepanjang frasa “serangkaian tindakan penyidik” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “prosedur–prosedur formal dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka atas suatu perbuatan yang jelas tindak pidananya, harus dengan jelas serangkaian tindakan apa yang dilakukan sehingga dapat menetapkan seseorang untuk menjadi tersangka.”
Definisi Penyidik
Sementara, dalam perkara No. 109/PUU-XIII/2015, Pemohon menilai bahwa Pasal 45 ayat (1) UU KPK secara harfiah juga dapat mengandung muatan multitafsir.
Pasal 45 ayat (1) UU KPK menyatakan:
Penyidik adalah penyidik pada komisi pemberantasan korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi pemberantasan korupsi.
Menurut Pemohon, pasal tersebut tidak jelas merujuk pada siapa. Pasal itu juga dinilai dapat menimbulkan pertanyaan tentang apakah KPK dapat mengangkat penyidik sendiri yang sebelumnya belum memiliki status penyidik. Seharusnya, lanjut Ruliandi, pengertian penyidik dikaitkan dengan Pasal 6 KUHAP. Namun, Pemohon melihat terdapat penyidik independen yang bukan lagi menjabat sebagai anggota kepolisian.
“Pada saat dimulainya suatu rangkaian proses penyidikan (terhadap Pemohon, red) tentu menjadi pertanyaan, apakah kompetensi penyidik tersebut dapat dikatakan sah secara yuridis? Karena tidak memiliki dasar yang kuat sesuai dengan ketentuan Pasal 6 (KUHAP) atau negara membolehkan penyidik-penyidik yang disebut dengan penyidik independen yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK itu sendiri?” papar Ruliandi.
Berdasarkan dalil-dalil itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk dalam pengertian penyidik yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Saran Hakim
Usai mendengarkan paparan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar selaku anggota panel hakim memberikan saran yang dapat digunakan untuk perbaikan permohonan. Patrialis menyatakan bahwa dalam permohonan Pemohon belum jelas sifat multitafsir yang ditudingkan. “Nah, multitafsir di sini juga perlu Saudara jelaskan, ini multitafsir oleh siapa ya? Bagaimana bentuk multitafsir ini? Bagaimana maksud undang-undang? Bagaimana maksud pihak lain yang Saudara maksudkan multitafsir?” tanya Patrialis.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manakan MP Sitompul meminta Pemohon untuk memperjelas petitum permohonannya terkait definisi penyidik. “Ini petitumnya belum tegas minta apa. Apakah penyidik yang ditentukan KPK saja. Atau hanya yang ditentukan oleh KUHAP?” tambah Manahan.
Sebelum menutup sidang, Wahiduddin mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat tanggal 29 September 2015, pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/IR)