Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi Pemohon, pada Rabu (16/9) siang. Saksi Pemohon yang hadir adalah Kusbandono, seorang penyandang disabilitas asal Tuban, Jawa Timur.
Kusbandono kemudian memberikan kesaksian terkait pengalamannya mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Polres Kabupaten Tuban. Kusbandono menuturkan, saat Ia ingin membuat SIM D khusus bagi penyandang disabilitas, pihak kepolisian menolak untuk mengurusnya. “Alasan pertama, selama ini belum pernah ada yang mengajukan pembuatan SIM D di Polres Tuban. Alasan kedua, belum ada panduan petunjuk pelaksana teknis pembuatan SIM D,” kata Kusbandono kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Padahal, kata Kusbandono, teman-teman Kusbandono di Jember yang juga sama-sama penyandang disabilitas bisa mengurus SIM D. Sedangkan Kusbandono tidak bisa mengurus SIM D di Polres Kabupaten Tuban. Menurut Kusbandono hal tersebut mengherankan. Dari pengalaman Kusbandono mengemudi sepeda motor yang sudah dimodifikasi menjadi roda tiga, Ia sama sekali tidak pernah berurusan dengan polisi, seperti terkena tilang, menabrak orang, dan sebagainya. “Malah saya yang lebih sering ditabrak pengemudi lain,” ungkap Kusbandono.
Setelah mendengarkan kesaksian, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta kepada Polri selaku Pihak Terkait agar bisa memberikan gambaran kepada Mahkamah soal alasan Polres Tuban tidak memberikan pelayanan pembuatan SIM D. “Perlakuan berbeda itu apakah didasarkan pada belum ada aturannya atau hasil kesimpulan dari dokter pejabat yang berwenang menilai bahwa secara fisik untuk mendapatkan SIM memenuhi syarat kesehatan atau tidak?” ujar Suhartoyo.
Senanda dengan itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga meminta agar Polri menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan Polri bagi penyandang disabilitas. “Karena persidangan ini terbuka untuk umum, mungkin bisa dijelaskan apakah ada kebijakan dari polisi yang dibenarkan menurut undang-undang. Bagi penyandang disabilitas, adakah perlakuan khusus atau peraturan yang dikeluarkan, termasuk terhadap kendaraan yang dimodifikasi penyandang disabilitas. Lewat sidang di Mahkamah, saya kira ini bisa menjadi sarana sosialisasi buat polisi dan kepada semua penyandang disabilitas,” imbuh Palguna.
Kemudian Ketua Sidang Pleno Arief Hidayat meminta kepada Pihak Terkait untuk memberikan jawaban tertulis atas tanggapan-tanggapan tersebut. “Kami minta Pihak Terkait memberikan jawaban secara tertulis dan disampaikan secara lisan pada sidang berikutnya,” pinta Arief.
Demi efektivitas waktu persidangan, Arief juga meminta kepada Pemohon agar dari beberapa ahli yang akan dihadirkan, maka empat akan menyampaikan materi secara lisan, sedangkan tiga ahli lainnya menyampaikan secara tertulis. Sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis, 1 Oktober 2015.
Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV) dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar. Norma-norma yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut para Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. (Nano Tresna Arfana/IR)