Ketentuan yang menyatakan setiap jenis profesi tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pembatasan pembentukan organisasi profesi sudah sesuai dengan kebijakan Pemerintah terhadap organisasi profesi lain, seperti advokat, notaris, maupun dokter yang hanya mempunyai satu wadah tunggal organisasi. Hal tersebut disampaikan Agus Hariadi, Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antar-Kelembagaan yang membacakan keterangan Presiden dalam sidang Pengujian UU Tenaga Kesehatan, Selasa (15/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, Agus meminta Mahkamah untuk menolak permohonan Pemohon. Sebab permohonan Pemohon yang menyatakan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan inkonstitusional merupakan pemahaman yang keliru. Untuk memahami benar ketentuan dalam Pasal 50 ayat (2), Agus menyatakan seharusnya Pemohon juga memahami ketentuan dalam ayat (1) pada pasal yang sama. Ayat (1) dimaksud menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus membentuk organisasi profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi tenaga kesehatan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa maksud dari ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan justru mengharuskan tiap jenis tenaga kesehatan yang tercakup dalam kelompok untuk membentuk hanya satu organisasi profesi. Tujuannya, agar pengetahuan dan keterampilan, martabat, serta etika profesi tenaga kesehatan dapat meningkat dan/atau berkembang.
“Oleh karena itu, bagi setiap tenaga kesehatan yang ingin membentuk organisasi profesi harus mempunyai kompetensi dan kewenangan yang ditentukan oleh Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Antara lain, tenaga kesehatan harus mempunyai standar profesionalitas dengan melalui uji kompetensi yang telah ditetapkan dalam undang-undang a quo. Hal ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan tenaga kesehatan juga sebagai profesi yang penting dalam pelayanan kesehatan karena pekerjaannya menyangkut keselamatan jiwa dan raga seseorang dibandingkan dengan profesi lainnya. Sehingga untuk mencapai tenaga kesehatan yang profesional dalam menjalankan praktik secara mandiri harus mempunyai kompetensi tertentu seperti yang dipersyaratkan dalam undang-undang a quo,” terang Agus.
Terhadap dalil Pemohon yang berkeinginan membentuk organisasi profesi ahli madya farmasi selain organisasi profesi lainnya, Pemerintah menjelaskan bahwa sebenarnya ahli madya farmasi berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (6) UU Tenaga Kesehatan sudah digolongkan dalam kelompok Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK). Berdasarkan Penjelasan Pasal 11 ayat (6) UU tersebut, maka ahli madya farmasi, analis farmasi, sarjana farmasi adalah termasuk dalam kelompok TTK. Sedangkan apoteker bersama tenaga teknis kesehatan termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan.
“Berdasarkan ketentuan tersebut, kedua kelompok tenaga kefarmasian mempunyai satu organisasi profesi berdasarkan persyaratan dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) undang-undang a quo,” ujar Agus.
Perbandingan
Untuk memberikan contoh, Agus memberikan pembanding organisasi tunggal pada organisasi profesi lainnya. Bila keinginan Pemohon unutk membentuk organisasi ahli madya kefarmasian dikabulkan, menurut Pemerintah hal tersebut akan berdampak pada organisasi profesi lainnya yang mempunyai jenjang yang sama dengan jenis tenaga kesehatan yang berbeda dari Pemohon. Oleh karena itu agar tidak terjadi diskriminasi dalam penentuan jumlah organisasi profesi tersebut, ujar Agus, Pemerintah patut menertibkan dan memberikan kebijakan terhadap organisasi profesi ini yaitu sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan.
“Oleh karena itu, ketentuan a quo yang menetapkan bagi setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi adalah sudah tepat dan sejalan dengan kebijakan Pemerintah terhadap organisasi profesi yang lainnya, seperti advokat, notaris, maupun dokter yang hanya mempunyai satu wadah tunggal organisasi yang telah memenuhi standar dan kompetensi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan masing-masing profesi,” tegas Agus pada sidang yang dimohonkan oleh Srijanto selaku tenaga teknis kefarmasian ahli madya farmasi.
Untuk melengkapi sanggahan Pemerintah, Agus menuturkan sejumlah pendapat Mahkamah dalam beberapa putusan. Antara lain, Putusan Pengujian UndangUndang Jabatan Notaris dalam Perkara Nomor 009-014/PUUIII/2005, 63/PUU-XII/2014, dan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang Advokat dalam Perkara Nomor 67/PUUII/2004, Nomor 014/PUU-IV/2006, dan Nomor 015/PUU-IV/2006.
Putusan tersebut menyatakan bahwa diperlukannya satu-satunya wadah tunggal organisasi notaris dengan satu kode etik dan satu standar kualitas pelayanan publik agar Pemerintah akan lebih mudah melaksanakan pengawasan terhadap pemegang profesi notaris yang diberikan tugas dan wewenang sebagai pejabat umum.
Sebelumnya, permohonan yang terdaftar dengan nomor 88/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Srijanto yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan jenis tenaga teknis kefarmasian ahli madya farmasi. Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan. Pasal tersebut menyebutkan “Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi”.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan, khususnya frasa “hanya dapat membentuk 1 (satu) organisasi profesi” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Norma tersebut juga dirasa bersifat diskriminatif dan merugikan Pemohon karena hanya memperbolehkan 1 (satu) organisasi profesi. Hal ini menyebabkan Pemohon terhalang atau berpotensi tidak dapat membentuk Organisasi Profesi Tenaga Kesehatan Tenaga Teknis Kefarmasian. (Yusti Nurul Agustin/IR)