Ketentuan pada Lampiran CC angka 5, sub Urusan Ketenagalistrikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sama sekali tidak menghalangi Kabupaten Kutai Barat untuk membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di daerahnya. Meskipun ketentuan tersebut tidak mencantumkan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam masalah ketenagalistrikan, bukan berarti melarang pemerintah daerah untuk membangun pembangkit tenaga listrik untuk mengatasi masalah ketenagalistrikan. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pujianto pada sidang ketiga perkara Pengujian UU Pemda yang dimohonkan Bupati Kabupaten Kutai Barat Ismail Thomas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Barat Jackson John Tawi dan Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat Yustinus Dullah, pada Senin (14/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, Pujianto menyampaikan keterangan resmi Pemerintah. Tidak menampik, Pemerintah membenarkan bahwa ketersediaan listrik merupakan sebuah tolok ukur dalam menentukan tingkat modernisasi dan kemudahan berbagai kebutuhan hidup pada suatu daerah. Oleh karena itu, diperlukan sebuah regulasi yang tepat dalam penyediaan pembangunan dan pemanfaatan energi listrik dalam UU Pemda.
Lewat UU Pemda, Pemerintah (Pemerintah Pusat, red) telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal ketenagalistrikan. Meski Pemerintah mengakui bahwa pada tataran implementasi kewenangan tersebut dianggap kurang maksimal karena hingga saat ini masih terdapat daerah-daerah terpencil dalam wilayah kabupaten yang belum tersedia listrik. “Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah berinisiatif untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dan provinsi untuk mengurus ketenagalistrikan,” ujar Pujianto.
Bila dikaitkan dengan otonomi daerah, Pujianto menyampaikan sejatinya otonomi daerah bukan sekadar gerakan desentralisasi yang membagi-bagi urusan yang ada di pusat untuk dipindahkan ke daerah, melainkan sebuah gerakan yang menjadi bagian dari upaya besar pembaruan menuju tata pemerintahan baru yang lebih baik. “Otonomi daerah memberikan hak wewenang dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, penyelenggaraan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antardaerah. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” papar Pujianto lagi.
Lebih lanjut, Pujianto mengatakan urusan wajib dalam otonomi daerah merupakan urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah seperti menjamin ketersediaan pelayanan baik dari sumber daya maupun dana. Sehubungan dengan hal itu, Pasal 13 UU Pemda telah menetukan hubungan dalam bidang pelayanan umum antara pemerintah dan pemerintah daerah.
Terlebih, Pujiono menegaskan bahwa Lampiran CC angka 5, angka 3 huruf g, dan angka 4 huruf f pada sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda pada intinya mengandung makna bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi berkewajiban untuk menyediakan dana bagi masyarakat tidak mampu, melakukan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan pedesaan. Dengan demikian, bila Pemerintah Kabupaten Kutai Barat hendak membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, maka dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun dengan pemerintah pusat. Menurutnya, hal ini akan semakin memudahkan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk mewujudkan pembangunan pembangkit tenaga listrik.
Usai mendengar paparan Pujiono, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanyakan data empiris dan evaluasi terkait pelaksanaan kewenangan penyediaan tenaga listrik. “Apakah ketika kewenangan yang sekarang dipersoalkan oleh Pemohon ini diberikan kepada daerah itu tidak berjalan dengan baik, itu ada semacam evaluasinya atau enggak? Itu yang saya mohonkan, sehingga kita bisa melihat secara lebih objektif. Karena sebenarnya apa yang disampaikan oleh Pemohon itu ada rasionalitasnya juga. Misalnya bagaimana dia berasal dari suatu daerah yang kaya akan sumber daya listrik itu justru banyak elektrifikasinya (banyak sumber daya alam yang bisa digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, red) persentasenya malah rendah, kan itu yang sebenarnya. Nah, dari situ kemudian Pemohon menarik ke semacam kesimpulan bahwa karena dia tidak diberikan kewenangan begitu, ya. Ini nanti kita bandingkan dengan data yang dipunyai Pemerintah, data evaluasi sehingga akan terlihat sesungguhnya ada di mana masalahnya, apakah ini benar-benar merupakan persoalan konstitusionalitaskah? Ataukah memang ini sesungguhnya lebih kepada persoalan perencanaan atau mungkin problem-problem teknis yang menyertai berkaitan dengan soal itu,” tanya Palguna.
Menjawab pertanyaan Palguna, Pujiono menyampaikan bahwa dengan diberikannya kewenangan persoalan ketenagalistrikan kepada kabupaten/kota maka akan berdampak pada saling tumpuknya kewenangan. Akibatnya, satu lokasi (lokasi pertambangan dll, red) bisa dikeluarkan tiga sampai empat izin sehingga menimbulkan perselisihan.
Sebelumnya, para Pemohon menyatakan Kabupaten Kutai Barat mengalami masalah ketenagalistrikan seperti pemadaman listrik, tidak stabilnya listrik, sulitnya mendapat sambungan listrik, hingga mahalnya biaya penyambungan listrik. Terhadap permasalahan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat bermaksud membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada. Namun, hal ini terkendala dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda, yang hanya mengatur kewenangan ‘pemerintah pusat’ dan ‘pemerintah daerah provinsi’ dalam masalah ketenagalistrikan.
Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda tersebut kemudian dianggap telah merugikan para Pemohon, karena menghapuskan kewenangan ‘pemerintah daerah kabupaten/kota’ dalam hal ketenagalistrikan. Padahal menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengatur mengenai ketenagalistrikan. Berdasarkan argumentasi itu, para Pemohon kemudian meminta kepada Majelis Hakim agar Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Yusti Nurul Agustin/IR)