Presiden Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia (Assosiation of Asia Constitutional Court/AACC) yang sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Arief Hidayat menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi Internasional bertajuk “Application of International Treaties By Constitutional Court And Equivalent Bodies: Challenge To The Dialogue” di Batumi, Georgia.
Dalam kesempatan tersebut, Arief menilai penting pembahasan mengenai persentuhan sistem hukum nasional dengan hukum internasional, khususnya dalam hal perjanjian internasional. Isu tersebut dinilai isu penting dan aktual, terutama bagi Mahkamah Konstitusi atau institusi sejenis.
Sesuai dengan putusan MK Indonesia, Arief menjelaskan, perjanjian internasional yang telah disahkan menjadi hukum nasional dalam bentuk undang-undang dapat menjadi obyek pengujian oleh MK. Perjanjian internasional juga telah banyak menjadi referensi dalam putusan-putusan MK Indonesia terutama terkait dengan persoalan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.
“Hal itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perjanjian internasional di bidang HAM ke dalam hukum nasional, sehingga perjanjian internasional diperlukan sebagai instrumen yang memperkaya penafsiran konsep-konsep HAM, baik di dalam konstitusi maupun dalam undang-undang,” papar Arief, Jumat (11/9).
Lebih lanjut, terdapat dua hal penting yang dipaparkan Arief terkait dengan pengalaman dan praktik MK Indonesia. Pertama, MK Indonesia berwenang dan pernah menguji UU yang meratifikasi perjanjian internasional. Kedua, perjanjian internasional menjadi referensi putusan MK Indonesia.
Pembahasan mengenai perjanjian internasional dalam putusan MK, jelas Arief, tidak dapat dilepaskan dari persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional Indonesia. Sebab, perjanjian internasional merupakan instrumen utama dalam hukum internasional. “Seiring berkembangnya subyek hukum internasional, perjanjian internasional juga dapat dibuat oleh negara-negara di kawasan tertentu. Oleh karena itu, hukum internasional diperkaya dengan perjanjian regional,” imbuhnya.
Di Indonesia, dasar konstitusional perjanjian internasional adalah Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan, Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Bahkan ditegaskan, Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus dengan persetujuan DPR. “Keterlibatan DPR merupakan wujud dari prinsip kedaulatan rakyat, mengingat perjanjian internasional yang dilakukan oleh Presiden akan berlaku kepada seluruh warga negara,” jelas Arief.
Sementara aturan terkait perjanjian internasional di Indonesia, imbuhnya, tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sebagai negara berdaulat, Indonesia menganut primat hukum nasional, yakni ketika perjanjian internasional telah menjadi bagian dari hukum nasional, terutama yang disahkan dalam bentuk undang-undang, maka MK dapat menguji materi perjanjian internasional tersebut. Adapun contoh perjanjian internasional yang pernah diuji oleh MK Indonesia adalah pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang pengesahan ASEAN Charter yang diujikan oleh organisasi massa petani, serikat buruh, perkumpulan buruh migran, organisasi perempuan, serta perseorangan warga negara Indonesia.
Selain itu, lanjut Arief, perjanjian internasional pun sering menjadi referensi putusan MK Indonesia yang sebagian besar terkait dengan persoalan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. “Di dalam putusan-putusan tersebut, sering kali perjanjian internasional digunakan sebagai referensi atau instrumen memberikan penafsiran atas isu hukum tertentu,” jelas Arief.
Arief mencontohkan Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam putusan tersebut, MK menggunakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan ICCPR sebagai referensi untuk menegaskan tentang pentingnya jaminan kebebasan beragama. DUHAM dan ICCPR telah diadopsi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Contoh lainnya, tutur Arief, adalah Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 mengenai pengujian UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU tersebut melarang keluarga incumbent sampai tingkat tertentu untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur, Bupati dan Walikota. “Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa pembatasan hanya dibolehkan apabila didasarkan pada kondisi tertentu yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan hak-haknya. MK menggunakan Paragraf 7 Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) sebagai referensi,” tandasnya.
Konferensi Internasional yang berlangsung selama tiga hari tersebut dihadiri oleh MK dan lembaga sejenis dari 37 negara termasuk Indonesia. Selain itu, turut hadir akademisi dan perwakilan organisasi nonpemerintah. (Lulu Hanifah)