Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana dua perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) sekaligus, yakni perkara nomor 104/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Effendy Syahputra dan perkara nomor 105/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Doni Istyanto Hari Mahdi pada Kamis (10/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Effendy Syahputra pada intinya keberatan dengan aturan syarat pengajuan pasangan calon dalam Pilkada oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sementara Doni Istyanto merasa keberatan dengan aturan syarat pengajuan pasangan calon tersebut dan juga dengan aturan tenggang waktu pengajuan permohonan serta tenggang waktu penyelesaian perselisihan hasil Pilkada.
Ridwan Darmawan selaku kuasa hukum dari Effendy Syahputra menyampaikan pokok permohonan di hadapan panel hakim yang diketuai Patrialis Akbar. Ridwan mengatakan bahwa Effendy yang kini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Perindo, sangat mungkin untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah saat Partai Perindo sudah mendapat legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Effendy merasa peluangnya untuk melengang sebagai pejabat daerah dihalangi oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) dan (3) UU Pilkada. Sebabnya, pasal-pasal tersebut dianggap memberatkan calon dari partai baru seperti Partai Perindo.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) menyatakan, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Pada Pasal 40 ayat (2) diperjelas bahwa dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas. Sedangkan 40 ayat (3) menjelaskan bahwa dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketentuan tersebut menurut Pemohon inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan atau jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. “Pemberlakuan Pasal 40 ayat (1) potensial merugikan Pemohon karena besaran dukungan yang harus diperoleh oleh pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik itu sangat-sangat memberatkan dan terjadi ketidakadilan. Ketika partai-partai besar dalam praktiknya adalah calon tersebut yang memiliki kapasitas modal yang besar mampu meraup dukungan yang cukup besar dan melebihi persentase yang diatur oleh Pasal 40 ayat (1) itu. Sementara kader-kader yang dari partai-partai kecil yang justru dikehendaki masyarakat, kemudian secara visi, prestasi, dan kerja-kerja politik dan demokrasinya teruji oleh masyarakat, tapi karena terhambat olehpersyaratan sesuai Pasal 40 ayat (1) ini sehingga terganjal,” papar Ridwan.
Sementara itu, Doni Istyanto pada kesempatan itu diwakili oleh Dwi Istiawan selaku kuasa hukum. Istiawan menyampaikan bahwa Doni merupakan konsultan pemenangan dalam Pilkada yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 7 huruf o, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (4), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 107 ayat (1), Pasal 109 ayat (1), Pasal 121 ayat (1), dan Pasal 122 ayat (1) UU Pilkada. Pasal-pasal tersebut menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya saja dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, menurut Pemohon ketentuan tersebut tidak secara jelas menentukan batas atas atau maksimal persentase untuk mengajukan pasangan calon.
“Batas bawahnya ada, tetapi batas atasnya tidak ada. Sehingga kami mohonkan agar terdapat batas atas berapa persen dukungan yang harus diperoleh dan berapa persen yang harus bisa diperoleh maksimumnya. Karena dalam beberapa peristiwa yang ada di beberapa daerah terdapat satu calon incumbent yang memborong seluruh partai, sehingga kemudian isu yang menyatakan adanya calon boneka, terjadi pada daerah-daerah tersebut,” jelas Istiawan.
Saran Hakim
Usai mendengar keterangan kedua Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan agar para Pemohon memperjelas kedudukan hukum yang dipakai untuk mengajukan permohonan masing-masing. “Saudara Pemohon sebagaia perseorangan atau sebagai wakil sekjen? Itu harus diperjelas karena coba cermati betul Pasal 40 itu ya, yang Saudara minta untuk diuji di situ kan, dijelaskan di pasal itu bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan dan seterusnya, gitu. Nah, ini baru Saudara pertegas. Dalam kapasitas ini sebagai perseorangan atau sebagai partai politik? Dalam hal ini wakil sekretaris jenderal,” ujar Aswanto mengomentari permohonan Effendy.
Hal serupa juga disampaikan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul. Ia menyarakan agar Pemohon memberikan argumentasi lebih jelas mengenai legal standing yang dipakai dan kerugian konstitusional yang dialami. “Saya melihat dari substansi permohonan (No. 104, red) ini yang di sana menekankan adanya diskriminatif. Nah, ini perlu diuraikan lebih lanjut karena di situ bukan diskriminatif yang awam kita dengar, ras, dan sebagainya. Di sini adalah pembedaan dalam hal kontentasi dari para calon (calon kepala daerah,red) gitu ya,” saran Manahan menambahkan. (Yusti Nurul Agustin/IR)