Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan dari pimpinan fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di MPR yang dipimpin oleh Prof. Cecep Syarifudin dalam rangka silaturahmi dan konsultasi tentang kajian konstitusi, Jumat (26/01) di ruang sidang MK. Para tamu disambut dan ditemui langsung oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. didampingi Hakim Konstitusi Dr. H. Harjono, S.H., MCL. dan Hakim Konstitusi Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.
Ketika membuka perbincangannya, Jimly menerangkan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan itu, Jimly mengatakan MK memiliki fungsi antara lain, pertama, mengontrol demokrasi karena suara mayoritas tidak berarti mencerminkan tegaknya kebenaran. Kedua, penafsir tunggal konstitusi melalui perkara-perkara yang diperiksanya. Ketiga, pelindung hak-hak konstitusional warganegara melalui judicial review undang-undang terhadap UUD.
Lebih lanjut, lewat Cecep, Jimly mengucapkan terima kasih kepada Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur karena telah secara cerdas menangkap denyut nadi aspirasi rakyat dengan melontarkan gagasan perlunya mengkaji konstitusi. Hal ini menunjukkan kepedulian kita akan konstitusi dan memberi kesempatan bagi konstitusi hidup di hati rakyat, ucap Jimly.
Mewakili rombongan, Cecep mengatakan bahwa upaya mengkaji konstitusi merupakan strategi PKB untuk mengawal konstitusi. Hal ini sesuai dengan ucapan Gus Dur yang mengatakan bahwa tugas MPR adalah mengkaji konstitusi. Karena itu, kami pergi ke MK untuk konsultasi, jelas Cecep.
Tailor Made
Sekretaris fraksi PKB Efendi Choiri mengajukan beberapa pertanyaan terkait fungsionalitas konstitusi. Antara lain Efendi menanyakan, pertama, apakah konstitusi secara struktural sudah betul. Kedua, apakah secara substansi sudah sesuai aspirasi rakyat. Ketiga, apakah rakyat sudah merasa terlindungi dengan konstitusi, dan keempat, apakah rakyat sudah merasa memiliki dan mentradisikan konstitusi. Jangan-jangan di kalangan pejabat sendiri, belum ada rasa memiliki konstitusi? tanya Efendi.
Menanggapi pertanyaan Efendi, Harjono menjelaskan bahwa, secara historis, perubahan UUD 1945 tidak terjadi di ruang vakum, melainkan muncul berdasarkan tuntutan reformasi yang menilai ada sesuatu yang salah dengan substansi konstitusi sebelum perubahan dan telah terjadi kesalahan dalam proses pelaksanaan UUD 1945.
Dari dua hal ini, ada upaya tarik-menarik untuk mempertahankan atau mengganti konstitusi. Dan hasilnya adalah konstitusi sekarang yang telah mengalami empat kali perubahan dalam satu tahapan perubahan, jawab Harjono.
Salah satu kewenangan MPR, lanjut Harjono, adalah mengubah dan menetapkan UUD, yang tentunya harus dimulai dari suatu kajian. Tapi, untuk melakukan suatu kajian, harus dimulai dari tahap kognisi yaitu mengetahui apa yang akan dikaji terlebih dahulu. Dan hal itu butuh waktu yang tidak singkat. Sedangkan, di sisi lain, saat ini sebenarnya ada persoalan lebih besar yaitu bagaimana membudayakan kehidupan berkonstitusi di masyarakat.Maka yang terpenting, melalui kognisi kita, pertama kali adalah kenali dulu konstitusi sebelum sampai pada tahap penilaian. Selain itu, selama manusia lemah, maka produknya pun lemah. Jadi, Kelemahan sebenarnya bukan pada konstitusinya tetapi lebih pada manusianya, lanjutnya.
Jelas Harjono, bila dianalogikan dengan pakaian, produk konstitusi harus dijahit sesuai dengan ukuran orang yang akan memakainya, atau tailor made, bukan dengan langsung hanya menyajikan pakaian itu dalam ukuran S, L, atau XL tanpa mengukur kesesuaian badan si pemakai. Beragam model konstitusi yang ada di dunia ini hanyalah sebagai pola-pola saja. Maka dari itu, menurut Harjono, berbagai referensi studi konstitusi bukanlah suatu hukum. Suatu konstitusi tak bisa disalahkan hanya dengan memperbandingkan dengan konstitusi lainnya.
Tuntutan perubahan sah-sah saja, tapi persoalannya, kritik-kritik untuk perubahan itu sudah sampai pada suatu konsep atau belum? Itu yang saya belum lihat selama ini. Kalau (konstitusi) ini salah, maka yang betul seperti apa? Maka menurut saya, ketahui dulu secara lengkap konstitusi kita dan bandingkan dengan praktik, kata Harjono mengakhiri pemaparannya.
Paradigma Konstitusi
Sementara itu, dalam pengamatan Prof. Mukthie, jika dianatomikan maka ada empat macam cara pandang masyarakat terhadap konstitusi antara lain, pertama, golongan yang merasa setelah amendemen dilakukan, maka persoalan selesai. Kedua, mereka yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli. Ketiga, golongan yang ingin amendemen lagi. Keempat, pihak-pihak yang menginginkan konstitusi baru sama sekali.
Untuk melakukan pengkajian yang baik, cobalah menarik benang merah konstitusionalisme seperti apa yang diinginkan negara ini. Dari sini, mungkin akan diketahui hal-hal apa saja yang menjadi landasan dan karakter sebenarnya negara ini. Tapi meskipun begitu, pencarian paradigma konstitusi ini tidaklah mudah, jelas Mukthie.
Lebih baik, bukan sempurna
Terhadap rentetan pertanyaan fraksi PKB, pertama, Jimly mengatakan bahwa dari sudut teks (naskah), dapat dikatakan tidak ada satupun UUD di muka bumi ini yang sempurna karena merupakan produk politik yang dikelola melalui proses politik yang di dalamnya terdapat kompromi-kompromi politik. Tetapi, lanjut Jimly, bagaimanapun juga konstitusi merupakan suatu kontrak sosial yang menjadi akumulasi persetujuan bersama rakyat, yang mengikat. Sekali mengikat, maka berlakulah konstitusi itu. Bila ingin mengubah, itu menjadi bagian dari proses politik, papar Jimly.
Meski konstitusi tak ada yang sempurna, jelas Jimly, setidaknya ada tiga jalan ikhtiar untuk menyempurnakannya, pertama, dengan melakukan amendemen formal melalui pasal 37 UUD 1945. Kedua, dengan memperhatikan berbagai Constitutional Convention (Praktik ketatanegaraan), yang mana konsep ini berbeda dari kebiasaan ketatanegaraan. Ketiga, dengan cara interpretasi yudisial melalui berbagai putusan MK.
Selain itu, menurut Jimly, UUD menjadi lebih tidak sempurna karena pelaksanaannya yang melenceng. Maka, baik sekali bila kita menghimbau para penyelenggara negara untuk sungguh-sungguh melaksanakan amanah konstitusi dengan tepat, lanjutnya.
Menjawab pertanyaan kedua, Jimly mengatakan bahwa konstitusi Indonesia belum tentu sudah sesuai dengan aspirasi rakyat. Jimly mencontohkan, konstitusi Amerika yang telah mengalami 27 kali perubahan, baru bisa dikatakan sesuai aspirasi rakyat Amerika bila setidaknya ketentuan itu telah diadopsi oleh 51 persen atau lebih, negara-negara bagiannya. Sedangkan di Indonesia tak berlaku demikian. Maka, Jimly mengusulkan supaya kajian konstitusi ini menjadi bagian dari agenda kampanye partai-partai politik, sehingga akan diketahui betul ide-ide apa saja yang akan dibawa untuk melakukan perubahan konstitusi berdasarkan aspirasi rakyat.
Menyinggung pertanyaan, apakah konstitusi sudah melindungi rakyat? Jimly menjawab bahwa dengan 300 persen perubahan saat ini UUD 1945 menjadi salah satu konstitusi yang paling lengkap memuat jaminan hak asasi manusia. Maka dalam pelaksanaannya, seorang warganegara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah, berhak melakukan uji materi undang-undang itu ke MK, jelasnya.
Namun sayangnya, saat ini jangankan warga negara, penyelenggara negara saja belum banyak yang memahami konstitusi apalagi menaati ketentuannya. Oleh karena itu, usul Jimly, agenda sosialisasi dan pendidikan konstitusi itu perlu. Ini tugas utama eksekutif meskipun semua pimpinan lembaga baik formal dan informal, juga bertanggung jawab. Pemerintah jangan hanya mengeluarkan instruksi presiden saja, melainkan juga harus mengambil tanggung jawab sosialisasi, antara lain melalui jalur edukasi, paparnya.
Karena tak ada satupun konstitusi di dunia ini yang sempurna, maka lebih cocok memakai istilah lebih baik saja, bukan sempurna, demikian Jimly sebelum mengakhiri pertemuan. (Wiwik Budi Wasito)