Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), pada Rabu (9/9) siang, di Ruang Sidang MK. Pemohon adalah Rusli Sibua, Bupati Morotai periode 2012-2016 yang resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Morotai 2011.
Dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 ini, Pemohon menguji Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Diwakili kuasa hukumnya Ahmad Rifai, Pemohon menyatakan bahwa aturan yang diuji tersebut dalam pelaksanaannya cenderung disalahartikan dan disalahgunakan oleh penegak hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon.
Menurut Pemohon, penyalahgunaan ini terjadi pada dirinya. Atas penetapan status tersangkanya, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan. “Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan, padahal kami mengajukan pra peradilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Rifai.
Sebagaimana diketahui, Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya menyatakan permohonan praperadilan Pemohon gugur, sesuai dengan Pasal 82 Ayat (1) KUHAP. Adapun pertimbangannya, karena pokok perkara Pemohon sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pemohon kemudian merinci kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan. Ketentuan pertama yang dipermasalahkan adalah Pasal 50 ayat (2) KUHAP yang menyatakan ‘Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum’. Berdasarkan apa yang dialaminya, Pemohon menyatakan kata ‘segera’ cenderung disalahartikan oleh penyidik dan penuntut umum dengan mempercepat proses penyerahan berkas tahap I yakni berkas perkara dan penyerahan berkas tahap II yakni berkas perkara bersama tersangka sekaligus barang bukti. Menurutnya, percepatan proses penyerahan ini terjadi pada dirinya, di mana KPK menyerahkan berkas tahap II Pemohon tanpa melaksanakan pemeriksaan saksi. Padahal menurut Pemohon, proses pemeriksaan merupakan hak dari Pemohon sesuai Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHAP. Semestinya, lanjut Pemohon, aturan tersebut dimaknai “sepanjang belum ada permohonan praperadilan”.
Demikian pula dengan pasal-pasal lain yang diujikan. Menurut Pemohon, Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang mengatur tentang penyebab gugurnya permintaan praperadilan, Pasal 137 KUHAP yang mengatur pelimpahan perkara ke pengadilan yang berwenang, Pasal 143 ayat (1) KUHAP yang mengatur pelimpahan perkara dari penuntut umum disertai dengan permintaan agar segera mengadili perkara, serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK yang mengatur jangka waktu 14 hari pelimpahan berkas dari penuntut umum kepada Pengadilan Negeri, juga harus dimaknai “sepanjang belum ada permohonan praperadilan”.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘sebelum adanya gugatan praperadilan’. Misalnya saja dalam petitum pertama, Pemohon meminta agar frasa ‘segera dimajukan ke Pengadilan’ dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebelum adanya gugatan Praperadilan’.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sebagai pimpinan Sidang Panel menilai tuntutan permohonan (petitum) Pemohon masih kabur. Palguna kemudian menyarankan agar Pemohon lebih memperjelas petitum permohonannya. “Tolong diperjelas maksud dari petitum Saudara. Kalau petitum Saudara seperti itu, penafsiran kami ternyata berbeda dengan apa yang Saudara maksudkan,” ucap Palguna.
“Sebenarnya kalau kita mengikuti semangat Hukum Acara Pidana di seluruh dunia yang menggunakan due process model, sesungguhnya mengapa perkara cepat-cepat disampaikan ke pengadilan atau segera diadili? Karena ingin memberikan perlindungan. Seperti pemeo justice delay, justice deny. Bahwa keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diingkari,” tambah Palguna.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto menasehati Pemohon agar permohonannya tidak terlalu panjang, sehingga Majelis Hakim akan mudah membaca permohonan Pemohon bila ada persoalan norma di dalamnya. Selain itu, Aswanto juga memberikan pandangan bahwa permohonan Pemohon masih banyak menguraikan masalah implementasi norma. “Kalau membaca permohonan Saudara, banyak implementasinya. MK tidak menguji masalah implementasi. Kewenangan MK adalah menguji apakah ada norma yang bertentangan dengan UUD,” ujar Aswanto. (Nano Tresna Arfana/IR)