Imran dan Muklisin selaku bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Kuantan Singingi, Sumatera Selatan mengajukan Pengujian Undang-Undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Pada sidang perdana perkara No. 103/PUU-XIII/2015 yang digelar Selasa (8/9), M. Husni Chandra selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok permohonan Pemohon. Menurutnya, hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar karena KPU telah salah menafsirkan norma terkait kepengurusan Parpol. Pemohon kemudian menguji ketentuan Pasal 23 ayat (3) UU Parpol, yang menyatakan:
Pasal 23 ayat (3) UU Parpol:
“Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.”
Di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Husni menyampaikan kliennya merasa dirugikan karena pencalonannya ditolak meski telah mengikuti seluruh tahapan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disebutkan dalam permohonan, alasan penolakan pendaftaran pasangan calon oleh KPU tersebut didasarkan adanya dualisme kepengurusan partai pengusung para Pemohon sebagai calon Bupati dan calon Wakil Bupati.
“Jadi proses itu sudah diikuti secara patut sesuai dengan ketentuan undang-undang, namun menurut kami ternyata penyelenggara telah melanggar ketentuan sebagaimana di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (3) yang seharusnya Saudara Imran dan Saudara Muklisin ini tidak serta merta proses yang seharusnya harus diikuti, tetapi tidak diikuti secara benar oleh penyelenggara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 sebagaimana tahapan yang seharusnya mereka diterima dulu, ya, diverifikasi, dilakukan kualifikasi persyaratan apakah memenuhi syarat atau tidak, kira-kira seperti itu yang dirugikan,” ujar Husni.
Usai mendengarkan penjelasan kuasa hukum Pemohon dan membaca permohonan Pemohon, Palguna menyampaikan bahwa Pemohon sebenarnya memasalahkan kasus konkrit. Artinya, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas adanya pertentangan antara norma yang diujikan dengan UUD 1945. Dengan kata lain, pokok permohonan Pemohon tidak memasalahkan inkonstitusionalitas norma.
“Nah, kalau normanya sudah benar, tapi pelaksanaan di lapangan yang keliru, nah itu bukan inkonstitutionalitas norma undang-undang, berarti pelaksanaan pemilu-nya yang keliru. Kalau itu tidak bisa dimintakan ke Mahkamah Konstitusi. Tapi kalau normanya yang keliru, yang menyebabkan pelaksanaan menjadi seperti itu, nah itu yang bisa Saudara persoalkan,” jelas Palguna yang didampingi Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Lebih lanjut, Palguna juga menyampaikan bahwa Mahkamah tidak bisa membatalkan surat keputusan KPU tentang Penolakan Pendaftaran Bakal Calon Bupati seperti yang diminta Pemohon dalam petitumnya. Menurut Palguna, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
“Oleh karena itu, kalau memang Saudara hendak mengajukan permohonan pengujian undang-undang, kalau dari norma undang-undang tentang partai politik ini yang Saudara anggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itulah yang dimintakan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Sementara ini kan kalau saya lihat permohonan yang Saudara baca, baik di alasan permohonan sampai kepada diktum permohonan Saudara, itu tidak ada Saudara mempersoalkan pertentangan antara norma undang-undang itu dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Tapi semata-mata Saudara mempersoalkan tindakan KPU-nya,” papar Palguna.
Hal yang sama juga disampaikan Patrialis dan Suhartoyo. Keduanya menyarankan agar Pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Bila memang Pemohon memasalahkan surat keputusan KPU, Pemohon bisa menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
“Kalau ingin membatalkan putusan KPU itu berarti menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, ya, tidak berkaitan dengan Undang-Undang Dasar, itu bisa ke Mahkamah Agung. Kalau prosesnya, Saudara bisa ke Bawaslu, protes ke Bawaslu. Atau memang kalau dianggap KPU-nya melanggar etik, bisa ke DKPP,” saran Patrialis.
Di akhir sidang, Palguna kembali mengingatkan bahwa bila Pemohon ingin mengubah permohonannya maka Pemohon perlu menjelaskan inkonstitusionalitas norma yang telah menyebabkan lahirnya tindangan pelanggaran oleh KPU. Bila demikian, maka MK bisa menangani permohonan perkara yang diajukan Pemohon sebab hal demikian memang menjadi kewenangan MK.
“Jadi, mau keadaan faktual seperti yang Saudara jelaskan tadi, silakan Saudara sampaikan, dipaparkan di dalam posita permohonan boleh. Tetapi ujungnya itu harus kembali kepada norma yang Saudara persoalkan konstitusionalitasnya, yang Saudara anggap menjadi penyebab lahirnya tindakan seperti itu. Harus demikian strukturnya,” tukas Palguna sembari mengingatkan perbaikan permohonan Pemohon harus diserahkan paling lambat 21 September 2015, pada pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/IR)