JAKARTA - Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 36/2015 tentang Tenaga Kesehatan (Nakes) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga independen ini menolak diganti menjadi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
“KTKI itu anggotanya hanya ketua dari beberapa konsil. Lembaga ini tidak independen karena bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang juga dapat mengintervensi KTKI,” ucap Ketua KKI, Bambang Supriyatno, di Jakarta, Senin (7/9).
Menurutnya, dalam UU Nakes secara tersirat disebutkan, setelah dua tahun KTKI terbentuk, KKI tidak berlaku lagi. Ia menambahkan, selain KTKI yang tidak independen, pembentukan konsil-konsil dalam KTKI tidak efisien karena memerlukan anggaran besar.
Setiap konsil memiliki ego masing-masing. Menurutnya, KKI keberatan dengan keberadaan KTKI sebab lembaga ini hanya koordinator, bukan regulator seperti KKI saat ini.
“Kami mengajukan judicial review terhadap UU Nakes bukan untuk melawan pemerintah. Silakan menteri kesehatan (menkes) mengatur penempatan dokter dan hal-hal yang sifatnya administrasi. Tetapi untuk profesi, yang berperan adalah konsil kedokteran,” tutur Bambang.
Senada dengan Ketua KKI, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zaenal Abidin menjelaskan, PB IDI dan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) yang tergabung dalam KKI mengajukan permohonan uji materi UU Nakes dengan beberapa pertimbangan.
KKI menilai, ada pembatasan terhadap peran organisasi profesi dalam mengatur profesi berdasarkan standar profesi. Selain itu, ini menimbulkan kebingungan terhadap kompetensi antartenaga kesehatan.
“Hal ini sangat merugikan berbagai pihak, termasuk masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan,” ujar Zaenal.
Profesi yang Unik
Saksi ahli dari KKI, Winardi mengatakan, profesi dokter maupun dokter gigi adalah profesi unik dan khas. Itu karena dokter bisa melakukan tindakan pada manusia dan tindakan tersebut sangat berisiko.
Kedokteran merupakan salah satu dari sedikit keilmuwan murni. Sebelum melakukan tindakan, mereka diatur etik, standar-standar prosedur operasional, serta surat izin praktik.
Menurutnya, UU Nakes tidak boleh sampai melemahkan pengawasan publik dalam mengontrol profesi kedokteran. “Jangan sampai keputusan yang sifatnya peraturan dapat melemahkan posisi publik dalam melakukan pengawasan dan pembinaan dalam mengontrol profesi dokter,” tutur Winardi.
Ia menambahkan, judicial review terhadap UU Nakes muncul akibat belum ada UU Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia.
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150908218/konsil-kedokteran-indonesia-tolak-jadi-ktki