Sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan – Perkara No. 98/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/9) siang. Pemohon melalui kuasa hukumnya, Gugum Ridho Putra menyampaikan perbaikan permohonan.
Dalam perbaikannya, Pemohon menegaskan kembali kerugian konstitusional yang telah nyata dialami, yakni dipidanakan dengan tuduhan pasal perusakan hutan. Padahal, menurutnya Pasal tersebut multitafsir. “UU Kehutanan Pasal 50 ayat 2 sepanjang frasa kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan dianggap multitafsir karena tidak memberi penjelasan lengkap,” kata Gugum.
Mengenai kegiatan yang disebut menimbulkan kerusakan hutan, Gugum mengatakan bahwa hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena berpotensi menimbulkan kewenang-wenangan aparat penegak hukum. “Sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, PT Inanta Timber selaku Pemohon merasa berhak untuk mendapat jaminan kepastian hukum untuk melakukan pemanfaatan hutan. Namun hak tersebut seolah terhalangi dengan tidak adanya definisi yang jelas terkait apa yang dimaksud,” ucap Gugum.
Menanggapi perbaikan permohonan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati selaku pimpinan sidang menanyakan apakah ada hal lain yang ditambahkan dalam permohonan Pemohon. “Masih ada yang ingin dibicarakan?” tanya Maria Farida.
“Kebetulan karena memang Pemohon ini domisilinya di Medan, kita di Jakarta, sampai hari ini kami sedang menunggu kiriman berkas-berkas tambahan untuk mendapatkan bukti yang ada di sini. Sehingga mungkin kami mohon waktu sebelum persidangan selanjutnya akan segera kita lampirkan,” ujar Gugum menjawab pertanyaan pimpinan sidang.
Maria kemudian mengesahkan alat bukti yang diserahkan Pemohon kepada Majelis Hakim. “Jadi yang ada bukti P-2 dan P-3 ya. Saya sahkan. Nanti alat bukti yang lainnya kalau Anda mau sampaikan nanti bisa sesudah sidang ini, langsung ke Kepaniteraan. Ada yang masih yang ingin disampaikan? Karena dianggap sudah cukup, maka sidang ini saya nyatakan selesai dan ditutup,” kata Maria Farida.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah PT. Inanta Timber & Trading Co. Ltd. yang kemudian diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama. Pemohon yang telah memiliki izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) merasa khawatir dengan pemberlakuan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bersifat multitafsir dan tidak jelas. Pemohon yang kini menghentikan sementara kegiatannya di bidang kehutanan mengaku pernah diperiksa penyidik Kepolisian lantaran pemberlakuan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan.
Pemohon telah diberi izin HPH pada satu area selama 30 tahun dengan ketentuan sesuai Rencana Kegiatan Tahunan (RKT). Namun, beberapa tahun berjalan, terjadi penebangan beberapa pohon di luar RKT tapi tetap di dalam kawasan area izin HPH. Kasus tersebut yang kemudian disidik dan diterapkan Pasal 50 UU Kehutanan. Padahal, menurut Pemohon, apabila satu instansi diberikan HPH, hutan tersebut pasti rusak.
Adapun Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan:
“Setiap orang yang diberi izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”
Menurut Pemohon, maksud dari frasa ‘kerusakan hutan’ tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Sehingga, imbuh Pemohon, dari perspektif hukum pidana, norma Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan merumuskan satu delik formil. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Nano Tresna Arfana/IR)