Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas) - Perkara No. 89/PUU-XIII/2015 pada Senin (7/9) siang. Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK tersebut beragenda untuk mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
DPR diwakili anggota Komisi III DPR John Kenedy Azis menyatakan, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor merupakan bagian dari tugas Polri sesuai amanat Konstitusi. “Bahwa menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, menangani SIM, STNK, dan BPKB oleh Polri merupakan bagian dari tugas Polri. Seperti tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta penegakan hukum,” papar Azis kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
DPR juga berpendapat, penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor oleh Polri merupakan salah satu pelayanan dasar administratif yang penting dan efektif. Hal ini mengingat bahwa penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor oleh Polri merupakan perwujudan dari pelayanan publik. Untuk itu, pemindahan kewenangan tersebut kepada lembaga lain tidak akan menyelesaikan masalah.
“Oleh sebab itu, memindahkan kewenangan yang selama ini dimiliki Polri tidak selalu akan menyelesaikan masalah. Jika lembaga baru yang diberikan kewenangan itu tidak lebih baik dari Polri, maka pemindahan kewenangan yang dilakukan ke lembaga lain belum tentu menjadi lebih baik. Yang paling penting untuk diperhatikan dan dilakukan adalah peningkatan secara terus menerus mutu pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor oleh lembaga yang saat ini berwenang,” urai Azis di hadapan para Pemohon, sejumlah pejabat Polri sebagai Pihak Terkait serta pejabat dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) selaku perwakilan Pemerintah.
Kemudian, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Nasrudin mengatakan, Polri diberi tugas untuk memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap kepemilikan kendaraan bermotor. Wujud dari upaya pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan tersebut adalah diberikannya kewenangan kepada Polri untuk melakukan registrasi kendaraan bermotor.
Pemerintah berpendapat, dalam proses registrasi kendaraan bermotor, Polri wajib memberikan pelayanan dan menerbitkan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang berfungsi sebagai alat bukti kepemilikan kendaraan bermotor. BPKB memberikan jaminan kejelasan hukum kepemilikan seseorang dengan kendaraan bermotor yang dimiliki. Di samping itu, BPKB merupakan jaminan ketertiban administratif dan jaminan keamanan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor.
“Dengan demikian, secara yuridis konstitusional kewenangan Polri di bidang registrasi kendaraan bermotor dan Surat Izin Mengemudi dapat ditempatkan sebagai bagian dari tugas pengayoman dan perlindungan dalam rangka terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Juga, secara historis kewenangan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Kendaraan Bermotor serta Surat Izin Mengemudi sudah ada sebelum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri diundangkan,” tandas Nasrudin.
Kerugian Konstitusional
Sementara itu, Polri selaku Pihak Terkait diwakili Kepala Korps Lalulintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Pol. Condro Kirono. Menurut Polri, dalil Pemohon yang menyatakan tidak mendapat keamanan optimal dikarenakan adanya kewenangan Polri untuk menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, tidak mempunyai pijakan faktual. “Karena kewenangan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor tidak mungkin menimbulkan kerugian konstitusional masyarakat,” ucap Condro.
Dengan kata lain, lanjut Condro, tidak mungkin ada hubungan kausalitas antara kewenangan Polri menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dengan kemungkinan terjadinya kerugian konstitusional dari masyarakat. “Pemberian kewenangan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor maupun pengurusan SIM, STNK, BPKB kepada Polri justru menjadi faktor penguat terhadap pelaksanaan kewenangan Polri dalam rangka melaksanakan keamananan dan ketertiban masyarakat,” imbuh Condro.
Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV) dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar. Norma-norma yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 2 tentang Kepolisian serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut para Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. (Nano Tresna Arfana/IR)