Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional bertema “Optimalisasi Peran Perguruan Tinggi dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Undang-Undang Sumber Daya Air”, pada Jum’at (4/9), di Ballroom Hotel Megaland, Surakarta, Jawa Tengah.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) tersebut, Arief mengatakan putusan MK dalam pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air menjadi salah satu landmark. Menurutnya, MK sama sekali tidak menegasikan ruang privat (swasta) untuk mengelola air, tetapi negara harus terlebih dahulu mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air.
“Selama hak-hak rakyat sudah terpenuhi, swasta boleh mengelola sisanya,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
Arief juga mengatakan, MK melalui putusannya telah menyatakan Undang-Undang Sumber Daya Air bertentangan dengan Konstitusi. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran bahwa sumber daya yang lain seperti udara, juga akan ikut menjadi komoditi. Bahkan, lanjut Arief, telah terjadi berbagai konflik terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
“Sumber air yang berada di Cokro Tulung sudah dikuasai investor sehingga rakyat tidak dapat memanfaatkan sumber air tersebut,” kata pria kelahiran Semarang itu.
“Konflik air tidak hanya swasta dengan rakyat, tapi antar Pemerintah Daerah juga sudah terjadi konflik, misalnya kasus air PDAM Surabaya sumber airnya dari Lamongan, yang mengakibatkan konflik antara Pemda Lamongan dan Pemkot Surabaya,” tambah Arief.
Selain itu, Arief juga mengatakan bahwa berdasarakan Konstitusi, maka keterlibatan swasta dalam pengelolaan air adalah menjual nilai tambah, seperti nilai tambah kemasan dari air, sehingga mudah untuk dikonsumsi di berbagai tempat. Untuk itu, yang menjadi komoditas bukanlah airnya, melainkan kemasannya.
Ditegaskan oleh Arief, memang saat ini pembentuk undang-undang belum membentuk aturan baru mengenai sumber daya air berdasar putusan MK, namun hal tersebut dapat disiasati dengan membentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri berdasar Undang-Undang Pengairan yang lama, sambil menunggu pembentukan Undang-Undang Sumber Daya Air yang baru. Menurutnya, memang perlu kesadaran dari seluruh lembaga pemerintahan untuk menjalankan putusan MK.
“Mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi berarti mengabaikan Konstitusi, karena abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi juga berarti abai terhadap supremasi Konstitusi,” tegas Arief. (Ilham WM/IR)