Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu). Perkara yang teregistrasi dengan nomor 101/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh dua orang pegiat Pemilu, yakni Heriyanto dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Pada sidang tersebut, Pemohon menyatakan, Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu telah merugikan kewenangan konstitusional dan kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut Pemohon, ketiga pasal tersebut mewajibkan KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah sebelum menetapkan Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, dan Peraturan DKPP.
“Tiga norma tersebut menyebabkan terganggunya kinerja penyelenggara pemilu yang pada akhirnya dapat merugikan atau setidaknya menghambat penyelenggaran pemilu. Selain itu, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan penyelenggara pemilu,” papar Heriyanto di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (3/9).
Pasal 119 ayat (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pasal 120 ayat (4) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu menyatakan,
Peraturan DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
Pemohon berpendapat, proses konsultasi dengan DPR dan Pemerintah secara langsung telah mempengaruhi kemandirian di tiga lembaga tersebut. Hal ini dibuktikan dengan usaha DPR melakukan intervensi kepada KPU dalam proses konsultasi terhadap Peraturan KPU terkait pencalonan kepala daerah, demi mengakomodasi kepentingan partai politik yang tidak mendapat legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM.
“KPU dipaksa oleh DPR dalam hal ini Komisi II DPR RI untuk mengatur hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. KPU dipaksa untuk menabrak undang-undang dengan mengharuskan KPU untuk mengakomodir pengajuan pasangan calon kepala daerah dari partai politik yang memiliki kepengurusan ganda,” ujarnya.
Para Pemohon sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih dan memilih, merasa berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya lantaran Peraturan KPU yang selalu berubah demi mengakomodasi kepentingan partai politik di DPR. “Para Pemohon sebagai pegiat pemilu dan sebagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilu tidak boleh membiarkan penyelenggara pemilu terhambat atau dirugikan dikarenakan adanya norma yang dapat merugikan atau menghambat penyelenggaraan pemilu,” imbuhnya.
Selain itu, Pemohon juga beranggapan proses konsultasi di DPR dapat membawa dampak politik terhadap kelembagaan Bawaslu, KPU, dan DKPP, serta dampak psikis bagi Anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP, yakni khawatir akan dipermasalahkan di kemudian hari oleh Anggota DPR apabila peraturan yang dibuat tidak sesuai dengan arahan Anggota DPR. “Tentu saja hal ini memengaruhi kemandirian lembaga KPU dan Bawaslu,” jelas Heriyanto.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 119 ayat (4), Pasal 121 ayat (4), Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Majelis Hakim juga mempertanyakan kesimpulan Pemohon yang menyatakan kemandirian KPU, Bawaslu, dan DKPP terganggu dengan adanya konsultasi dengan DPR.
“KPU, Bawaslu, dan DKPP enggak pernah datang ke sini bilang merasa dirugikan, kok Saudara bisa mengatakan KPU, Bawaslu, DKPP merasa dirugikan dengan konsultasi? Barangkali mereka malah senang dengan konsultasi itu, supaya pelaksanaan Pemilihan Umum maupun Pemilukada yang dilakukan itu lebih mantap,” ujar Patrialis.
Oleh karena itu, Majelis Hakim meminta Pemohon memikirkan lagi kerugian konstitusionalnya, baik berkaitan dengan persoalan legal standing maupun juga berkaitan dengan alasan-alasan permohonan. Majelis Hakim juga mengingatkan Pemohon, apabila MK menyatakan pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan Konstitusi, apa akibat hukum yang terjadi. (Lulu Hanifah/IR)