I Made Sudana yang mengajukan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Undang Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang Undang Mahkamah Konstitusi memperbaiki permohonannya. Mengikuti persidangan melalui video conference dari Universitas Udayana, Sudana yang tanpa didampingi satu orang kuasa hukum pun menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan di hadapan Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, pada Rabu (2/9).
Pemohon adalah perseorangan warga Indonesia yang merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan sumpah jabatan dalam undang-undang yang diujikan. Menurutnya, hak konstitusional untuk memperjuangkan rasa keadilan di depan hukum telah tercederai. Undang-undang yang dimohonkan pengujian menimbulkan ketidakadilan karena tidak diaturnya sanksi agama bila undang-undang tersebut dilanggar dan pelaksanaan sumpah tidak sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
Dengan kata lain, Sudana meminta dalam undang-undang yang digugatnya diatur pula tentang sanksi agama bila pejabat melanggar sumpah dalam menjalankan jabatannya. Sudana pun meminta saat pengambilan sumpah, rohaniawan yang mengambil sumpah bisa saja rohaniawan yang berlainan agamanya. Terakhir, Sudana meminta tempat pengambilan sumpah dilakukan di tempat suci agama yang dianut pejabat dimaksud.
Pada sidang kedua ini, Sudana yang masih hadir sendiri tanpa pendamping atau kuasa menambahkan penjelasan mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya akibat ketentuan sumpah jabatan dalam undang-undang yang diuji. Dengan menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Sudana menyampaikan bahwa Ia merasa tidak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan tidak adanya sanksi agama tersebut.
“Rasanya ada perlakuan yang tidak adil dalam pengucapan sumpah jabatan tersebut yang dalam pengucapannya tidak menguraikan sanksi agama atau religius apabila sumpahnya dilanggar,” ujar Sudana.
Sudana juga menyatakan, Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak jadi diujikan karena sebelumnya sudah dibatalkan oleh MK. “Berarti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan sendirinya batal karena undang-undangnya tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” papar Sudana.
Dalam sidang kali ini, Palguna kembali menegaskan petitum permohonan Pemohon. Sebab, redaksi yang digunakan Pemohon dalam petitumnya justru dapat menghilangkan seluruh pasal yang Pemohon gugat. Padahal, Pemohon hanya meminta adanya penambahan sanksi agama dalam ketentuan sumpah pejabat. “Ya, kalau mau diganti itu bukan di Mahkamah Konstitusi, Pak, yang memutuskan. Itu yang kami sebutkan tadi. Kalau mengganti itu kami tidak mempunyai kewenangan untuk mengubah rumusan norma undang-undang. Kami hanya bisa mencoret atau menyatakan bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, itu saja. Kalau mau melakukan perbaikan rumusan, itu tempatnya di Dewan Perwakilan Rakyat,” tegas Palguna yang didampingi Hakim Konstiiitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di akhir sidang, Palguna menyampaikan akan menyampaikan hasil sidang kali ini dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang nantinya akan menentukan kelanjutan perkara No. 94/PUU-XIII/2015 tersebut. (Yusti Nurul Agustin/IR)