Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 Maret 2006 menyatakan anggaran pendidikan nasional seharusnya terpenuhi sebesar 20 persen. Namun, dalam lampiran UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 (UU APBN), pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran pendidikan hanya sebesar 11,8 persen dari total APBN. Mengapa pemerintah dan DPR tidak menggubris putusan MK itu?
Pernyataan dan pertanyaan di atas dikemukakan oleh Prof. DR. H. Mohamad Surya, Ketua Umum PGRI dalam sidang pengujian UU UU APBN 2007 terhadap UUD 1945, Rabu 24 Januari 2007 di Ruang Sidang MK. Sidang ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.
Permohonan dengan nomor perkara 026/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Prof. DR. H. Mohamad Surya, dkk. ini, dalam petitumnya yang dibacakan pada persidangan sebelumnya, meminta Majelis Hakim Konstitusi mengeluarkan ketetapan penundaan pelaksanaan (provisionel handeling) UU APBN sampai ada putusan MK, menyatakan UU APBN 2007 dan penjelasannya bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menetapkan dan memerintahkan pemerintah dan DPR mengubah alokasi anggaran pendidikan menjadi sebesar 20 persen dari jumlah APBN.
Ihwal permohonan ini dilandasi adanya lampiran anggaran berdasarkan program yang merupakan bagian tak terpisahkan dari UU APBN 2007, yang menyatakan sektor pendidikan mendapatkan alokasi dana hanya sebesar 11,8 persen atau berkisar Rp. 90,10 triliun dari APBN Tahun 2007 yang senilai Rp. 763,6 triliun. Hal ini menurut Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pertama, Pemohon melalui kuasa hukumnya Abdul Ficar Hadjar, S.H., M.H. memaparkan bahwa selain pemerintah dinilai telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan di atas, secara substansial pemerintah juga telah melakukan kesalahan dalam metodologi perhitungan anggaran pendidikan. Dimasukkannya perhitungan komponen anggaran pendidikan kedinasan atau in service training dalam anggaran pendidikan nasional adalah keliru karena bertentangan dengan konvensi internasional yang dikeluarkan UNESCO. Mestinya yang dihitung hanyalah mencakup pendidikan formal yang bersifat free service programme, jelas Ficar.
Seharusnya, tambah Ficar, anggaran pendidikan kedinasan yang diselenggarakan oleh setiap departemen, selain departemen pendidikan nasional dan departemen agama, telah dialokasikan tersendiri dalam sektor anggaran masing-masing dan tidak tergabung dalam anggaran pendidikan nasional.
Sementara itu dalam pemeriksaannya, Hakim Anggota Panel Maruarar Siahaan, S.H. mengatakan bahwa sepengetahuannya, Pemohon belum pernah mengadakan suatu lobi atau dengar pendapat dengan DPR pada waktu penyusunan anggaran pendidikan untuk meminta perhatian atau melakukan penekanan ke anggota dewan untuk menerapkan atau mengimplementasikan Pasal 31 UUD 1945 atau putusan MK secara lebih khusus.
Dalam kondisi seperti ini, MK tidak bisa menyatakan apa-apa tentang permohonan, tetapi hendaknya bisa dilihat kondisi psikologisnya bahwa putusan yang terdahulu saja belum terlaksana, Pemohon justru melakukan judicial review kembali, jelas Maruarar kepada Pemohon.
Menanggapi permohonan provisionel handeling dari Pemohon, Hakim Anggota Panel Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S. mengatakan bahwa MK tidak mengenal adanya putusan provisi kecuali dalam sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). Lampiran APBN ini tidak hanya menyangkut soal pendidikan saja, kalau sampai UU APBN diberhentikan sementara, maka akan berhenti seluruh roda kegiatan nasional yang bertumpu pada APBN. Oleh karenanya, saya minta perhatian Pemohon untuk persoalan ini. Jadi perlu direnungkan permintaan provisi ini, toh sudah pasti hampir tidak mungkin dikabulkan oleh MK, papar Mukhtie Fadjar.
Sementara itu, Ketua Hakim Panel I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. meminta Pemohon memperbaiki petitumnya karena apa yang diminta adalah UU APBN 2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, padahal dalam penjelasan permohonannya, Pemohon sebenarnya lebih fokus pada persoalan anggaran pendidikan saja, bukan keseluruhan APBN.
Senada dengan Maruarar, Palguna juga mengingatkan Pemohon bahwa tahun lalu MK juga telah memutus hal yang sama terkait dengan anggaran pendidikan. Seharusnya putusan MK itu menjadi acuan Pemerintah dan DPR ketika menyusun anggaran ini. Tetapi, bahwa kemudian putusan itu belum ditaati, MK tidak punya upaya paksa seperti pengadilan umum untuk meminta pemerintah dan DPR menaati putusan itu, jelas Palguna.
Perbaikan permohonan
Sementara itu, dalam persidangan hari ini, Pemohon telah memperbaiki permohonannya dengan menghapus permintaan provisionel handeling, menghilangkan petitum yang menyatakan penjelasan UU APBN 2007 bertentangan dengan UUD 1945, dan menghapus petitum yang meminta MK menetapkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR mengubah alokasi anggaran pendidikan menjadi sebesar 20 persen dari jumlah APBN.
Kini, dalam petitumnya yang telah diperbaiki, pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan besaran alokasi anggaran pendidikan yang tertuang dalam UU APBN 2007 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap petitum tersebut, Hakim Anggota Panel Dr. Harjono, S.H., MCL. mempertanyakan apakah Pemohon masih perlu mendatangkan Saksi dan Ahli
Atas pertanyaan ini, Kuasa Hukum Pemohon Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. menjawab pihaknya masih perlu mendatangkan Saksi dan Ahli untuk menjelaskan proses pencapaian anggaran pendidikan sebesar 11,8 persen dan untuk menjelaskan dari segi hukum, mengapa konsideran UU APBN 2007 tidak mencantumkan putusan MK yang terkait dengan anggaran pendidikan.
Terhadap jawaban Kuasa Hukum Pemohon, Harjono mempertanyakan apakah penjelasan ahli nantinya akan cukup kuat ketimbang realisasi angka 11,8 persen dan apakah Pemohon juga tidak membayangkan bahwa kehadiran ahli nantinya kemungkinan bisa lebih menguatkan hitungan 11,8 persen, alih-alih memperkuat argumentasi Pemohon.
Selain itu, sebenarnya yang kami butuhkan dalam perbaikan permohonan ini adalah adanya penjelasan cara perhitungan anggaran yang detail. Hal inilah yang dulu juga kami persidangkan, tambah Palguna.
Sebelum menutup persidangan, Palguna meminta Pemohon untuk menimbang kembali permohonannya mengingat hal yang sama pernah diuji di MK, sekaligus memberi kesempatan bagi Pemohon untuk menyusulkan tambahan bukti-bukti. (Wiwik Budi Wasito)