Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) pada Selasa (1/9), di Ruang Sidang MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 88/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Srijanto dan persidangan perkara tersebut dilakukan melalui fasilitas video conference.
Pada kesempatan itu, Pemohon menyatakan telah memperbaiki permohonannya sesuai saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon menerangkan mengenai kedudukan hukumnya, yakni sebagai perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan jenis tenaga teknis kefarmasian ahli madya farmasi. Selain itu, Srijanto yang hadir tanpa kuasa hukum mengungkapkan bahwa dirinya berpotensi diperlakukan tidak adil dan dirugikan dengan norma yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan.
Srijanto menjelaskan, tenaga kesehatan jenis tenaga teknis kefarmasian meliputi Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi. Menurutnya, ketika tiga tenaga teknis tersebut harus membentuk satu organisasi profesi, maka akan berpotensi menimbulkan kerancuan dalam kepengurusan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan jenjang pendidikan dan kompetensi.
“Perbedaan jenjang pendidikan dan kompetensi pekerjaan berpotensi menyebabkan kepengurusan dalam satu organisasi tenaga teknis kefarmasian menjadi tidak fokus dalam satu kegiatan pekerjaan. Dengan tiga organisasi yang masing-masing organisasi menghimpun sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi akan dapat efektif karena fokus pada pemberdayaan pendidikan dan kompetensi pekerjaannya. Dengan demikian peran serta tenaga teknis farmasi dalam pembangunan kesehatan khususnya pembangunan farmasi dengan mengedepankan pelayanan farmasi kepada masyarakat jadi optimal dan dengan kualitas prima,” ujarnya kepada Majelis Hakim Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto.
Sebelumnya dalam permohonan, Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan. Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan menyebutkan “Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi”. Pemohon yang merupakan tenaga teknis kefarmasian ahli madya farmasi merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan tersebut.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan, khususnya frasa “hanya dapat membentuk 1 (satu) organisasi profesi” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Norma tersebut juga dirasa bersifat diskriminatif dan merugikan Pemohon karena hanya memperbolehkan 1 (satu) organisasi profesi. Hal ini menyebabkan Pemohon terhalang atau berpotensi tidak dapat membentuk Organisasi Profesi Tenaga Kesehatan Tenaga Teknis Kefarmasian. (Lulu Anjarsari/IR)