Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut, MK menggabung pemeriksaan tiga perkara, yakni perkara nomor 95, 96, dan 100/PUU-XIII/2015. Ketiganya menggugat ketentuan yang mengatur syarat minimal dua pasang calon dalam Pilkada.
Muhammad Sholeh sebagai kuasa hukum perkara nomor 95 menuturkan telah memperkuat pokok-pokok permohonannya. Ia menjelaskan, penerapan Pasal 54 ayat (4) UU Pilkada sulit dilaksanakan di dalam Pilkada. “Andai saja ada (pasangan calon) yang berhalangan tetap, ketika (pendaftaran) dibuka (kembali) pada bulan November, pasti akan mengganggu. Pembukaan ada sosialisasi lagi, ada pendaftaran lagi, tunggu partainya deal-deal politik lagi, itu akan mengganggu masa kampanye sampai pemungutan pada tanggal 9 Desember 2015,” jelasnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (1/9).
Selain itu, Pemohon menginginkan adanya ketegasan aturan dalam undang-undang melalui Putusan MK, terkait dengan Pasal 54 ayat (6) UU Pilkada yang hanya menyatakan tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda tanpa ada amar untuk membuka pendaftaran baru. Hal tersebut dinilai Pemohon menjadi konsekuensi hukum yang sangat menyulitkan bagi Penyelenggara Pemilu. “Jadi, kita ingin ada kearifan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 54 ini, kita kembalikan kepada Mahkamah, ataukah tetap dibuka pendaftaran atau memang pasal ini dihilangkan saja,” imbuhnya.
Pemohon yang merupakan warga Surabaya merasa dirugikan apabila harus ada penundaan dalam Pilkada lantaran hanya ada satu calon dalam Pemilihan Walikota/Wakil Walikota Surabaya. Pemohon mestinya berhak memilih seperti daerah-daerah lain pada Pilkada yang jatuh pada Tanggal 9 Desember 2015 nanti.
Terakhir, Pemohon menekankan bahwa adanya calon tunggal tidak boleh membatalkan penyelenggaraan Pilkada. Sebab, para Pemohon berkeyakinan ketika undang-undang sudah memberikan ruang kepada calon perseorangan dan partai politik tetapi tetap tidak mendaftar, maka haknya hilang. “Kami berkeinginan kotak kosong itu ada hanya untuk mengukur partisipasi pemilih ketika dia tidak setuju dengan calon tunggal, tetapi apapun hasilnya, maka itu tidak punya implikasi di dalam pelaksanaan pilkada,” jelas Sholeh.
Adapun dalam perkara nomor 96 yang dimohonkan Calon Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana, Pemohon mengelaborasi kerugian terhadap diberlakukannya ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada. Menurut Pemohon, ketentuan yang mensyaratkan paling sedikit 2 pasangan calon tersebut akan membelenggu dan berpotensi untuk membatasi hak politik, dalam hal ini adalah hak untuk dapat dicalonkan sebagai peserta pemilihan.
Pemohon menjelaskan, dalam UU Pilkada, penetapan pasangan calon peserta pemilihan yang mensyaratkan harus 2 pasangan calon tidak dibarengi antisipasi jika pasangan calonnya kurang dari 2. Pemohon menilai, timbulnya situasi kurang dari 2 pasangan calon menjadi tidak adil bagi calon yang sudah ada. “Seperti yang terjadi sekarang, dengan adanya penundaan-penundaan di daerah-daerah lain, masa kampanyenya sudah berbeda. Kemudian apabila nanti ada pasangan yang memenuhi syarat, Pak Whisnu beserta Ibu Risma masa kampanyenya sudah berkurang. Menurut Pemohon ini tidak adil,” jelas Kuasa Hukum Pemohon Edward Dewaruci.
Pemohon berpendapat, untuk menghindari kerugian konstitusional dari Para Pemohon, seharusnya Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara tidak diizinkan melakukan penundaan dan harus tetap menyelenggarakan Pilkada serentak di 2015. “Tapi kami serahkan sepenuhnya kepada Mahkamah dengan pemikiran yang lebih bijaksana dan adil supaya siklus pergantian kepemimpinan kepala daerah terjadi secara ajeg, berkesinambungan lima tahun sekali, dan partai politik lainnya yang tidak mengajukan pasangan calon itu juga harus mempertanggungjawabkan pilihannya,” imbuhnya.
Sementara, Pemohon perkara nomor 100 Effendi Gazali mengatakan telah menguatkan permohonannya dengan penelitian yang telah ada. Selain itu, Ia juga mengutip keresahan warga Kota Surabaya apabila Pilkada ditunda lantaran adanya syarat minimal dua pasang calon. “Ia khawatir pelaksana tugas sementara tidak memiliki visi yang sama dengan pemerintah sebelumnya, Ia khawatir berbagai progam yang sudah dirintis terhenti,” ujar Effendi.
Pemohon kemudian mengaitkan kondisi tersebut dengan ketidaksinambungan pembangunan yang bisa terjadi di daerah manapun di seluruh Indonesia. Dengan demikian, penundaan Pilkada dinilai Pemohon membawa kerugian bagi seluruh warga negara Indonesia. “Walaupun tidak langsung sebagai warga dari daerah yang saat ini sedang melaksanakan Pilkada serentak, tetapi akan terjadi ketidaksinambungan pembangunan yang muncul dari tidak tercapainya hak memilih warga negara tersebut. Ditambah dengan kerugian potensial yang memang mungkin terjadi ketika hal itu nantinya akan sampai juga pada giliran Jakarta,” jelasnya. (Lulu Hanifah/IR)