Jakarta - Berdalih belajar hukum adat yang akan diterapkan dalam RUU KUHP, Komisi III DPR studi banding ke Inggris. Namun hal ini dianggap pesimis karena berulang kali DPR melakukan hal serupa tetapi tidak ada hasil signifikan.
"Ambil contoh studi banding RUU Lambang Palang Merah ke Turki dan Denmark pada September 2012 dan studi banding RUU Kebudayaan dan RUU Perbukuan ke Yunani pada Maret 2013. Di mana ketiga RUU tersebut sampai sekarang belum terbentuk," kata ahli kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (1/9/2015).
Studi banding ke Denmark dan Turki itu terkait lambang palang merah dan diikuti 20 anggota dewan. DPR beralasan pemilihan lambang palang merah karena perdebatan di Baleg tidak selesai-selesai. Ada yang minta lambang Bulan Sabit Merah dan ada yang meminta Red Cross. Meski sudah ke Denmark, tapi RUU itu juga tidak kunjung selesai sampai hari ini.
Atas fenomena ini, pimpinan DPR sebaiknya segera mengambil langkah fundamental untuk meninjau ulang model pembentukan UU melalui studi banding yang terbukti tidak efesien, tidak efektif dan justru membuat pembahasan suatu UU menjadi berlarut-larut. Pimpinan DPR bisa mengambil kebijakan untuk keperluan studi komparasi atas suatu ketentuan dalam RUU dapat memanfaatkan fasilitas teleconference.
DPR harus berubah karena Indonesia saat ini menganut prinsip supremasi konstitusi yang berbeda dari prinsip supremasi parlemen.
"Dalam supremasi konstitusi kekuasaan pembentukan UU oleh DPR bukanlah tanpa batas melainkan dibatasi oleh kehendak konstitusi dan kehendak rakyat, di mana rakyat menghendaki DPR tidak boros dalam membentuk suatu UU," ujar peraih doktor dengan melakukan riset 400-an UU pascareformas itu.
Sembilan orang yang bertolak ke Inggris pada akhir Agustus 2015 itu adalah Aziz Syamsuddin (Partai Golkar), John Kennedy Aziz (Partai Golkar), Dwi Ria Latifa (PDIP), Iwan Kurniawan (Gerindra), Didik Mukriyanto (PD), Daeng Muhammad (PAN), Nassir Djamil (PKS), Bahrudin Nasori (PKB), dan Arsul Sani (PPP). Mereka mengaku mempelajari hukum adat yang berkembang di Inggris. Padahal, Bapak Hukum Adat, Cornelis van Vollenhoven berasal dari Belanda yang belajar hukum adat dari Indonesia.
Inggris dinilai tidak tepat karena hukum adat Indonesia lebih beragam seperti Adat Aceh, Batak, Melayu, Gorontalo, Bugis, Papua, Timor, Jawa Tengah hingga Priangan. Selain itu, RUU KUHP juga bernuansa budaya ketimuran seperti anti kumpul kebo, kriminalisasi santet hingga larangan seks liar bagi suami istri. Sedangkan Inggris membolehkan kumpul kebo.
Tapi apa kata DPR?
"Komisi III ingin perspektif hukum pidana yang lebih luas, tidak hanya Belanda atau Eropa kontinental tapi juga perkembangan di sistem Anglo-Saxon," ujar Arsul Sani.
Beberapa waktu lalu DPD juga melakukan studi banding ke Korsel dan menemukan temuan bahwa kurun 2012- 2015, parlemen setempat sudah mengesahkan 1.913 UU. Selama satu periode itu, Majelis Nasional Korsel bisa menyelesaikan lebih dari 100 RUU. Dalam membuat UU, parlemen Korsel tidak melakukan studi banding ke banyak negara Eropa atau Amerika Serikat.
(asp/tor)
Sumber: http://news.detik.com/berita/3006487/dpr-belajar-hukum-adat-ke-inggris-apa-kabar-studi-banding-ke-denmark