Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan orasi ilmiah dalam acara Dies Natalis ke-6 Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Maranatha Bandung, pada Jumat (28/8). “Saya mengucapkan selamat atas Dies Natalis ke-6 Fakultas Hukum Universitas Maranatha. Hari ini saya berkesempatan memberikan orasi ilmiah dalam kapasitas saya Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” ujar Anwar yang kemudian menyampaikan materi dengan judul ‘Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Penguji Undang-Undang dalam Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN’.
Mengawali orasi ilmiahnya, Anwar mengatakan saat ini Indonesia tengah dihadapkan pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Indonesia bersama dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN bersepakat untuk mendorong terciptanya zona perdagangan bebas dan pasar tunggal di kawasan ASEAN. “Kesepakatan ini tertuang dalam Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau dikenal dengan sebutan Piagam ASEAN yang ditandatangani oleh negara-negara ASEAN, tidak terkecuali Indonesia,” urai Anwar.
Anwar melanjutkan, terdapat tiga model adaptasi yang umumnya dilakukan negara dalam menghadapi era perdagangan bebas di kawasan ASEAN dan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pertama, membuka dengan lebar, yang artinya semua ketentuan yang termuat dalam perjanjian internasional diterima tanpa terkecuali.
“Kedua, membuka dengan terbatas. Artinya, ketentuan yang termuat dalam perjanjian internasional kita terima dengan syarat dan filter yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan yang ketiga, pola menutup diri. Artinya, negara tidak turut serta dalam perjanjian dan pergaulan internasional. Model adaptasi ketiga ini sudah lama ditinggalkan dalam pergaulan internasional,” papar Anwar.
Di sisi lain, lanjut Anwar, tindakan Indonesia untuk mengikatkan diri atas perjanjian internasional memiliki implikasi hukum dan tindakan ikutan yang menyertainya. Dari aspek perundang-undangan, akibat pengikatan diri atas perjanjian internasional mengharuskan adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan guna menyesuaikan diri dengan konten yang disyaratkan dalam perjanjian internasional.
“Tetapi dalam proses ratifikasi, baik undang-undang ratifikasi maupun undang-undang yang lahir sebagai tindak lanjut undang-undang ratifikasi tidak menutup kemungkinan dan berpotensi pula bertentangan dengan konstitusi,” ucap Anwar.
Dalam konteks itulah, MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of constitution) memiliki peran sangat penting dan signifikan untuk memastikan agar semua produk undang-undang memiliki konsistensi, koherensi dan korespondensi dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land). “Sehingga, apabila terdapat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” imbuh Anwar.
Dalam praktiknya, kata Anwar, MK telah menyatakan inkonstitusional beberapa undang-undang yang bercita-rasa ‘liberal’ sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Undang-undang tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga bertentangan sebagian dengan UUD 1945, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dianggap telah menekankan pada aspek investasi dan lebih pro terhadap dunia usaha. Terakhir, yakni UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang secara keseluruhan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Lebih lanjut Anwar mengungkapkan, dalam perkembangan pengujian undang-undang, MK pernah memutus permohonan uji undang-undang ratifikasi, yakni UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations atau Piagam ASEAN. “Ada diskursus yang menarik dalam proses persidangan pengujian undang-undang ratifikasi yang pada akhirnya menghasilkan putusan hakim tanpa mufakat bulat karena ada dua hakim yang memiliki pendapat berbeda. Dua orang hakim ini berpandangan bahwa undang-undang ratifikasi bukanlah objek pengujian undang-undang, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan ini,” tandas Anwar. (Nano Tresna Arfana/IR)