Tidak banyak yang tahu bahwa suku batak itu terdiri dari enam sub-etnis yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola. Ternyata, setiap sub etnis batak tersebut juga memiliki bahasa yang berbeda satu sama lainnya.
Walau begitu, keragaman bahasa tersebut bukanlah kendala bagi Mahkamah Konstitusi (MK) yang bermaksud untuk memasyarakatkan UUD 1945 melalui pengalihbahasaan ke dalam bahasa daerah. Pada tanggal 12 Januari 2007 lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. membuka Lokakarya Pengalihbahasaan UUD 1945 ke Bahasa Batak Toba, Batak Karo dan Batak Simalungun yang diselenggarakan MK bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Kebudayaan Universitas HKBP Nomensen Sumatera Utara
Hasil lokakarya tersebut nantinya akan menjadi naskah alih bahasa. Sebagai contoh, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dalam terjemahan bahasa Batak Karo, pasal tersebut akan berbunyi Negara ngakuken ras ngeregai ngawan-ngawan masarakat hukum adat ras hak-hak tradisonalna segedang-gedangnya geluhna ras sesua ras perkembangen masyarakat ras prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila diterjemahan ke bahasa Batak Toba akan terjadi perbedaan yaitu Negara mangokku jala marparsangapi satuan-satuan masyarakat hukum adat dohot hak-hak tradisionalna saleleng saleleng i tong diulahon, jala hombar dohot tu perkembangan ni masyarakat dohot prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, na diatur dibagasan undang-undang.
Sedangkan dalam terjemahan bahasa Batak Simalungun akan menjadi Negara jahu-jahu janah mansangapi hasadaon-hasadaon masyarakat hukum adat pakon hak-hak tradisionilni sadokah manggoluh janah hombar pakon hubani perkembangan ni masyarakat pakon prinsip Negara Hasadaon Republik Indonesia, na i atur undang-undang
Pada pidato pembukannya, Ketua MK menyampaikan bahwa UUD 1945 setelah melalui
empat kali perubahan, telah berubah 300 % dari naskah aslinya. Dengan demikian tentu semakin banyak lagi halhal yang harus dipahami oleh rakyat Indonesia. Hal itu menimbulkan jarak antara konstitusi yang tertulis dan pemahaman kognitif, serta jarak antara pemahaman kognitif praktek dengan tingkah laku sehari-hari. Sehingga usaha untuk menciptakan suatu living constitution tidaklah berhenti setelah naskah konstitusi tersebut telah ditulis. Rakyat harus mengetahui isi dan makna dari UUD 1945 dan tidak boleh lagi sekedar menjadi dokumen politis tetapi harus disosialisasikan, ujar Jimly.
Lebih lanjut Jimly mengatakan bahwa penerjemahan ke dalam berbagai bahasa lokal jangan dianggap sebagai suatu kemunduran, melainkan harus dilihat sebagai suatu cara untuk mendekatkan UUD 1945 kepada masyarakat. Untuk itu, melengkapi pengalihbahasan naskah UUD 1945 dalam Bahasa Jawa Ngoko, Bahasa Bali dan Bahasa Sunda, pengalihbahasan Batak Toba, Batak Karo dan Batak Simalungun diharapkan dapat mewujudkan keinginan tersebut. (Fritz Edward Siregar)