Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon memperkuat kedudukan hukum (legal standing) dan tuntutan permohonannya (petitum) sesuai nasihat Majelis Hakim.
Diwakili Victor Santoso Tandiasa selaku Ketua Umum Forum Kajian Hukum Konstitusi (FKHK), Pemohon mengungkapkan memperkuat legal standing, dari yang awalnya bersifat potensial menjadi kerugian langsung. “Kami memang pernah melakukan pengujian terhadap Perpres Nomor 26 Tahun 2014, yang kemudian kami anggap itu merupakan kerugian yang kami langsung karena kami juga tidak mengetahui bagaimana prosesnya, lalu kemudian diputus oleh Mahkamah Agung,” tuturnya pada sidang perkara teregistrasi nomor 92/PUU-XIII/2015, yang digelar pada Senin (31/8), di Ruang Sidang MK.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga meyakinkan Majelis Hakim bahwa tidak ada kesamaan norma yang diujikan maupun batu uji antara perkara yang dimohonkan, dengan Perkara Nomor 30/PUU-XIII/2015. Menurut Pemohon, perkara nomor 30 tersebut lebih mempersoalkan jangka waktu 14 hari.
Terakhir dalam petitum, Pemohon mengubah petitumnya menjadi inkonstitusional bersyarat. “Artinya pasal yang kami uji, Pasal 40 ayat (2) tersebut inkonstitusional, apabila tidak dimaknai khusus untuk persidangan judicial review dilakukan secara terbuka,” jelasnya.
Permohonan ini diajukan oleh FKHK yang kemudian diwakili oleh jajaran pengurusnya. Pemohon menguji Pasal 40 ayat (2) UU MA yang menyatakan, ‘Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum’.
Pada persidangan sebelumnya, anggota divisi hukum FKHK Syaugi Pratama menjelaskan pokok permohonan. Menurutnya, Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan, semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah sidang terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Sedangkan UU MA tidak mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. MA kemudian mengatur hukum acara pengujian tersebut dalam sebuah Peraturan MA. Menurut Pemohon, seharusnya jika hukum acara tersebut tidak diatur dalam UU MA, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
“Konsekuensi logisnya, karena UU MA tidak mengatur tata cara persidangan uji peraturan perundang-undangan secara eksplisit dan rigit dalam UU MA, maka aturan kembali pada Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan digelar sidang pemeriksaan dan putusan secara terbuka untuk umum,” jelas Syaugi dalam sidang perdana, Selasa (18/8).
Kemudian menurut Pemohon, apabila tata cara persidangan pengujian perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA akan diatur lebih lanjut, seharusnya UU mengatur terlebih dahulu agar MA tidak mengambil peran lembaga legislatif. “Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tidak sepantasnya mengambil peran DPR dan Presiden dengan membuat ketentuan hukum acara lain tanpa diatur terlebih dahulu oleh undang-undang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Pemohon membandingkan hukum acara di MK dan di MA. Menurut Pemohon, hukum acara pengujian UU terhadap UUD 1945, terdapat keaktifan hakim yang memberikan nasihat-nasihat kepada Pemohon. Nasihat diberikan agar Pemohon dapat memperbaiki atau menyempurnakan permohonannya. Hal tersebut dinilai Pemohon berbeda dengan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di MA.
“Inilah yang kita anggap tidak ada kedudukan yang seimbang antara warga negara dengan negara karena negara memiliki power yang lebih dominan dibanding warga negara. Kami anggap persoalan ini mencederai rasa keadilan bagi masyarakat yang ingin mencapai keadilan,” jelas Kurniawan selaku Pemohon. (Lulu Hanifah/IR)