Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pengawal konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia dan warga negara. Demikian disampaikan Ketua MK Arief Hidayat ketika menjadi narasumber dalam acara “Kongres Sungai Indonesia” yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di Ballroom Hotel Surya Yudha, Banjarnegara pada Kamis (27/8). Kegiatan ini bertujuan untuk memunculkan berbagai rekomendasi terkait kedaulatan air, sungai dan perairan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama.
Arief mengatakan, berdasarkan praktik ketatanegaraan di berbagai negara, permasalahan pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian dari kebijakan perekonomian suatu negara yang tertuang dalam setiap konstitusi. “Indonesia adalah negara kesejahteraan yang religius (religious welfare state), karena negara ini didirikan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara perlu berpegang pada kosmologi dan spirit ketuhanan sehingga kebijakan yang dibuat perlu diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama”, paparnya.
Kemudian Arief menjelaskan mengenai putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Menurutnya, hal tersebut merupakan tanggung jawab MK terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, tambah Arief, MK sebagai peradilan konstitusi memiliki tanggung jawab yang besar.
Namun di balik kewenangannya, kata Arief, MK masih memiliki kelemahan. Menurutnya, MK belum memiliki instrumen untuk melaksanakan putusannya. Terlebih tidak ada sanksi jika penerima putusan mengabaikan putusan MK. “Kepatuhan atas putusan MK disandarkan pada kultur taat hukum dari seluruh komponen bangsa untuk melaksanakannya sebagai refleksi patuh kepada konstitusi. Karena sejatinya putusan MK merupakan cerminan nilai konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mesti ditaati”, tegas Arief.
Di sisi lain, Arief menambahkan bahwa di Indonesia saat ini sedang mengalami low trust society, di mana masyarakat sudah saling tidak percaya dan saling curiga. Hal ini menurut Arief merupakan penyakit kronis. Jika dilandasi sikap saling tidak percaya, lanjut Arief, maka upaya membangun bangsa kedepannya akan untuk dilakukan. “Kalau dulu orientasi bangsa Indonesia jelas, mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju kemerdekaan untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Tapi sekarang semua komponen bangsa, orientasi hidup bernegara adalah mencari jabatan semata. Sulit mencari yang betul-betul untuk kepentingan nusa bangsa”, ujar Arief. (Dedy)