Pakar Hukum Perdata Universitas Indonesia Neng Djubaedah menuturkan perjanjian perkawinan dibolehkan dalam hukum, baik hukum barat, hukum adat, maupun hukum agama. Namun, perjanjian perkawinan tidak harus dilakukan sebelum dilaksanakannya perkawinan. Menurutnya, perjanjian perkawinan bisa dibuat saat perkawinan sudah berlangsung.
Pernyataan itu disampaikan Djubaedah saat memberikan keterangan ahlinya dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Kamis (27/8). Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tersebut, Djubaedah mengatakan dalam Bab 7, khususnya Pasal 139 sampai Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah diatur tentang Perjanjian Perkawinan, antara lain mengenai harta benda perkawinan.
Berdasarkan hukum Islam, Djubaedah mengutip pendapat Sayuti Thalib yang menyatakan perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau syirkah (pembagian harta) dibagi menjadi tiga macam. Pertama, syirkah dilakukan dengan membuat perjanjian secara tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah, baik mengenai harta bawaan, harta masing-masing melalui warisan, atau mengenai harta pencarian.
Kedua, syirkah dapat pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami atau istri, atau kedua-duanya, dalam masa adanya hubungan perkawinan adalah harta bersama atau harta syrikah suami istri tersebut. “Ketiga, menurut Sayuti Thalib, syirkah antara suami istri dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan pasangan suami istri,” ujar Djubaedah dalam sidang perkara nomor 69/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (27/8).
Lebih lanjut, Djubaedah menjelaskan, hukum adat di Jawa Barat memungkinkan dilakukannya pemisahan harta bersama ketika suami istri masih atau sedang dalam ikatan perkawinan. Dikaitkan dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang membatasi masa pembuatan perjanjian hanya dilakukan pada waktu atau sebelum dilangsungkan perkawinan, hukum adat dalam perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama mungkin dilakukan pada waktu suami istri sedang dalam ikatan perkawinan. “Oleh karena itu, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan perlu dipertimbangkan lagi,” tegasnya.
Sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon, Djubaedah mengusulkan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan ‘Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut’ harus dimaknai ‘Pada waktu, atau sebelum, atau selama perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut’.
Selain itu, Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan yang menyatakan ‘Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan’ harus dimaknai ‘Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan’.
Sedangkan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan yang menyatakan ‘Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga’ harus dimaknai ‘Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya tidak dapat diubah atau dicabut kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga’.
Terakhir, Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan ‘Harta benda yang diperoleh selama perkawinan’ harus dimaknai ‘harta bersama kecuali mengenai hak milik atas tanah dan hak guna bangunan bagi WNI yang menikah dengan WNA hanya hak WNI dengan tetap menetapkan asas nasionalitas dan tidak merugikan hak-hak WNA di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku’.
Frasa Multitafsir
Adapun Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, khususnya frasa ‘menjadi harta bersama’ bersifat multi tafsir. Ia mempertanyakan apakah frasa ‘menjadi harta bersama’ yang dimaksud dalam pasal tersebut menjadi sama atau mutatis mutandis maknanya dengan ketentuan norma dalam Pasal 21 dan Pasal 36 UU Agraria.
“Ini memerlukan tafsir, saya pikir Mahkamah tentu sangat bijak untuk menafsirkan, dua norma hukum dalam dua undang-undang yang berbeda yang juga disusun di dalam jarak waktu yang cukup panjang, tahun 1960, tahun 1974, dan dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujarnya.
Yusril mengutip Pasal 28B UUD 1945 yang menyatakan, ‘Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah’ dan Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan, ‘Setiap orang berhak, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun’. Dalam konteks tersebut, Ia mempertanyakan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU Agraria yang memberikan pengaturan tentang kemungkinan orang asing memiliki hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan.
“Demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sudah jangka waktu 1 tahun terlampaui hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara,” jelasnya.
Oleh karena itu, Yusril sebagai ahli yang juga dihadirkan oleh Pemohon meminta kebijakan MK untuk memberikan penafsiran harta benda yang diperoleh dalam perkawinan sebagai harta bersama. “Jadi, baru dia beralih menjadi hak milik apabila memang perkawinan itu terputus, baik cerai hidup maupun cerai mati. Di situlah baru ketentuan di dalam Pasal 21 ayat (3) dari UU Agraria itu berlaku,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ike Farida selaku Pemohon menguji ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Menurut Pemohon, norma-norma tersebut telah menghilangkan haknya untuk memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Sebab, perjanjian pembelian apartemen yang dilakukan Pemohon dibatalkan sepihak oleh pengembang lantaran suami Pemohon adalah warga negara asing dan Pemohon tidak mempunyai perjanjian perkawinan. Pemohon melanjutkan, penolakan pembelian oleh pengembang tersebut dikuatkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang intinya menyatakan pembatalan surat pesanan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya suatu perjanjian, yaitu pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria.
“Dapat disimpulkan hak Pemohon untuk memiliki rumah susun musnah oleh berlakunya pasal-pasal dalam UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan tersebut,” ujarnya pada sidang perdana, Kamis (11/6).
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘Warga Negara Indonesia’ pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Warga negara Indonesia tanpa terkecuali dalam segala status perkawinan, baik warga negara Indonesia yang tidak kawin, warga negara Indonesia yang kawin dengan sesama warga negara Indonesia, dan warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing’.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa sejak diperoleh hak pada Pasal 21 ayat (3) UU Pokok Agraria bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sejak kepemilikian hak beralih’.
Adapun untuk UU Perkawinan, menurut Pemohon frasa ‘Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan’. Untuk Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, Pemohon meminta agar Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian terhadap Pasal 29 ayat (4), sepanjang frasa ‘selama perkawinan berlangsung’, Pemohon meminta agar frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terakhir, Pemohon meminta agar frasa ‘harta bersama’ dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘harta bersama kecuali harta benda berupa Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang dimiliki oleh warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing’. (Lulu Hanifah/IR)