Ketentuan kegiatan yang menimbulkan dampak kerusakan hutan dalam Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dianggap belum jelas. Atas dasar itu, lewat kuasa hukumnya, Direktur Utama PT Inanta Timber & Trading Coy Ltd, Sofandra mempersoalkan frasa “kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan” dalam pasal itu ke Mahkamah Konstitusi.
“Frasa ‘kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan’ dalam Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan bersifat multitafsir,” ujar Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum pemohon, dalam sidang pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati di ruang sidang MK, Rabu (26/8).
Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan menyebutkan “Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfataan jasa lingkungan, izin usaha pemanfataan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”
Yusril menilai pasal tersebut tidak memberi penjelasan dan penjabaran lebih lanjut mengenai kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Baginya, hal ini dikhawatirkan rawan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam memproses kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dia mengatakan pemohon adalah badan hukum perdata yang telah mengantongi izin usaha di bidang kehutanan. Namun, faktanya posisi pemegang izin menjadi tidak memiliki kepastian hukum dengan adanya norma dalam UU Kehutanan itu yang memuat sanksi pidana bagi pemegang izin bidang kehutanan.
“Pemohon, perusahaan pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara dirugikan tidak mendapat haknya karena berlakunya Pasal 1 angka 3, Pasal 12 butir a dan Pasal 82 ayat (3) butir c UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (PPPH),” dalihnya.
Karena itu, pemohon meminta agar frasa “kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan” dalam Pasal 50 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan sepanjang frasa ‘kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan’ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian petitum pemohon seperti termuat dalam permohonan.
Mulanya, pemohon tak hanya menguji Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan, tetapi menyertakan Pasal 1 angka 3, Pasal 12 butir a dan Pasal 82 ayat (3) butir c UU PPPH terkait definisi pengrusakan hutan, larangan penebangan hutan yang tak sesuai perizinan (illegal logging), dan ancaman pidana penjara dan denda terhadap korporasi yang melanggar penebangan hutan.
Namun, dalam pendahuluan ini, pemohon akhirnya memilih untuk fokus memohon pengujian hanya pada Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan. “Ya, sementara ini kami hanya akan fokus pada Pasal 50 ayat (2) itu saja,” kata Yusril saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati.
Maria menilai permohonan ini akan tampak terlalu luas jika saja pihak pemohon tetap mempertahankan untuk menguji dua UU sekaligus. “Mula-mula permohonan ini menguji untuk dua UU. Sehingga permohonan ini terlalu luas dan sangat sulit melihat hubungannya satu per satu. Walaupun ada hubungannya antara UU Kehutanan dan UU PPPH,” katanya.
Yusril berjanji akan memperbaiki materi permohonan khususnya yang menyangkut legal standing, posita (alasan permohonan), dan petitum (tuntutan) permohonan. “Atas semua saran majelis, nanti kita akan perbaiki permohonan dengan fokus pengujian Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan,” katanya.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55dd73162a820/perusahaan-keberatan-sanksi-akibat-kerusakan-hutan