Engkau pernah dengar perempuan bernama Siti Nurbaya? Tak usah merasa bersalah kalau jawabanmu malah tertuju pada figur dalam kisah kasih tak sampai rekaan Marah Roesli. Toh, gadis malang itu memang lebih populer ketimbang menteri yang dipinang Jokowi untuk mengurusi hutan Nusantara.
Siti Nurbaya Bakar, begitu nama lengkapnya. Karier politiknya seumur jagung. Selepas pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada 2013, ia merapat ke Partai Na sional Demokrat. Sejak namanya mencuat sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guyonan nakal terlanjur menderanya. Ledekan itu jelas menyindir 'kawin paksa' Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hi dup, yang kebetulan berpaut dengannya.
Peleburan itu mau tak mau menuai kontroversi. Jangankan soal birokrasi, bahkan penyebutan Lingkungan Hidup di depan kata Kehutanan dalam nomenklatur kementerian pun ditanggapi sinis.
Pelaku industri khawatir isu-isu lingkungan bakal kian menggerus aktivitas ekonomi di hutan. Di sisi lain, penggiat lingkungan merasa diapresiasi, ada keberpihakan terhadap gagasan tata kelola hutan dengan prinsip kelestarian.
Situasi itu jelas bukan perkara mana yang menang atau kalah. Jokowi paham itu. Sebagai manusia yang terdidik di sektor kehutanan, ia tentu tak boleh asal pilih pemimpin di hutan. Selayaknya, ia menimbang matang-matang kapasitas menterinya.
Siti Nurbaya kenyang pengalaman merencanakan pembangunan di daerah. Ia menghabiskan nyaris separuh usianya mengabdi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung.
Dari situ, preferensi Siti Nurbaya seharusnya mudah ditebak. Ia terlatih membangun peradaban, di mana hutan adalah sumber bahan baku utama. Setelah hampir setahun menjabat, sejujurnya, Siti Nurbaya tak banyak melakukan gebrakan. Kinerja Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) melempem, ada triliunan rupiah dana menganggur begitu saja.
Masalah tenurial di kawasan hutan yang jadi penyakit kronis bertahun-tahun juga tak kunjung tuntas. Belakangan, moratorium melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2015 Tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut juga tak memuaskan banyak pihak.
Perpanjangan moratorium izin hutan dengan iming-iming US$1 miliar dari Norwegia itu jelas bukan prestasi.
Pahitnya lagi, sepanjang 4 tahun terkekang surat kesanggupan (letter of intent/ LoI) melalui bendera REDD+, Indonesia malah kehilangan sedikitnya 1,1 juta hektare areal hutan. Ironis memang.
Persoalan lahan di hutan selama ini sebenarnya bukan ketentuan hukumnya yang tidak kuat, tapi implementasinya yang nol besar. Proses pengukuhan kawasan hutan, faktanya, berjalan sangat lambat. Padahal, penataan batas kawasan hutan sangat penting untuk mereduksi konflik tenurial dan tumpang tinding lahan. Untuk itu, Siti Nurbaya perlu ingat, tata batas kawasan hutan harus menjadi prioritas nasional.
Realisasinya belum banyak terlihat. Di lapangan, pejabat daerah sebagai panitia tata batas malah lebih banyak berulah karena kerap mempersulit teknis penuntasan dan pemetaan temu gelang sebagai bagian dari tata batas hutan.
Di sisi lain, mereka juga cenderung gemar mengobral izin pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan. Padahal, tidak sedikit kawasan yang diberikan izin pemanfaatan merupakan kawasan hutan produksi dan lindung.
Ditjen Planologi mencatat hingga kini sudah ada 282 perusahaan perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan produksi seluas 4 juta hektare. Selain itu, sekitar 629 perusahaan pertambangan memanfaatkan kawasan hutan produksi seluas 3,6 juta hektare.
Untuk mengurai itu, Siti Nurbaya harus berani mendesak pejabat daerah untuk tidak memberikan izin pinjam pakai pada suatu kawasan sebelum persoalan tata batasnya diselesaikan oleh perusahaan yang telah mengantongi izin. Siti Nurbaya harus menguji 'kesaktiannya'.
Suksesor sebelumnya malah dipukul keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan frasa 'ditunjuk dan atau' untuk penetapan kawasan hutan seperti termaktub dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Keputusan itu terasa sangat pahit.
Namun, tak ada salahnya melanjutkan perjuangan. Toh, Siti Nurbaya mau tak mau memang harus membaur pada gesekan kepentingan yang melibatkan pelaku industri, aktivis lingkungan, pejabat daerah, hingga campur tangan asing yang merupakan bagian dari dinamika pengelolaan hutan.
Tugas Siti Nurbaya memang tak sederhana, meletakkan keseimbangan dari sekian banyak kepentingan di hutan. Pada akhir masa jabatannya, aku hanya ingin berandai-andai, ia akan kukenal sebagai perwujudan Aranyani (dewi hutan) atau berakhir tak berdaya laiknya kisah Marah Roesli.
Sumber: http://koran.bisnis.com/read/20150826/270/465782/spektrum-siti-nurbaya