Lebak, CNN Indonesia -- Mimpi buruk itu datang 2003 silam.
Secara sepihak Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan bernomor 175 yang menyatakan Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak bertambah luas menjadi 113.357 hektare.
Masyarakat adat Kasepuhan yang telah tinggal di Kabupaten Lebak, Banten, terpaksa menjadi korban. Lahan mereka tergusur, masuk menjadi bagian dari kawasan TNG Halimun Salak. Masyarakat yang sudah terbiasa mengelola hutan secara adat mau tidak mau harus mengikuti peraturan baru itu.
Sebagai bagian dari kawasan Taman Nasional, hutan garapan yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kini tak dapat lagi mereka manfaatkan. Padahal selama ini hutan telah menghidupi mereka secara turun menurun. Sejak itu, hanya ketakutan yang menyelimuti kehidupan masyarakat Kasepuhan.
Maman Syahroni (28), salah satu keturunan pemimpin adat Kasepuhan, mengatakan, mereka kini takut memanfaatkan hutan yang sudah bagai pekarangan rumahnya sendiri.
“Kami bisa saja sewaktu-waktu ditangkap polisi hanya karena mengambil ranting untuk kayu bakar,” tutur Maman.
Masyarakat Kasepuhan hidup dekat dengan alam. Meski tidak menolak teknologi, termasuk untuk menghidupkan perapian di dapur, mereka lebih memilih tetap menggunakan kayu bakar untuk memasak demi mewariskan tradisi itu kepada generasi berikutnya.
Kayu juga dibutuhkan untuk membangun rumah mereka. Sejak lama masyarakat Kasepuhan punya cara sendiri untuk memanfaatkan kayu agar hutan tetap lestari. Salah satunya adalah dengan sistem tebang pilih, hanya kayu usia tertentu yang boleh ditebang dengan jumlah tertentu.
Ada cara tertentu yang diyakini mereka dalam menebang pohon. Salah satunya adalah tidak boleh menebang pohon apabila terlihat pohon sedang berpucuk atau bersemi. Tak hanya itu, dalam satu tahun ada dua bulan penuh di mana warga tidak boleh menebang kayu di hutan adat untuk bangunan ataupun memasak, yakni pada Bulan Syapar dan Maulud. (Lihat Juga: Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak)
Sejak keluar keputusan sepihak dari pemerintah pusat, masyarakat Kasepuhan berupaya meminta kembali hak-hak mereka atas hutan. Perjuangan tidak mudah dilakukan. Selama tiga tahun, hingga 2006 perjuangan mereka tidak juga membuahkan hasil sehingga banyak Lembaga Swadaya Masyarakat membantu perjuangan Kasepuhan.
Dibantu Epistema, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), HuMa, Rimbawan Muda Indonesia, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), masyarakat Kasepuhan berjuang hingga ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta lahan mereka dikembalikan.
"Selama sepuluh tahun kami berjuang di tanah sendiri," kata Maman.
Selama 10 tahun tidak ada keputusan dan tiba-tiba angin segar muncul pada 2012 lalu. Setelah lama terombang-ambing, MK mengeluarkan keputusan Nomor 35 yang menyatakan kawasan hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Selain MK, perjuangan masyarakat Kasepuhan dan LSM itu kini didukung pemerintah daerah Kabupaten Lebak. Manajer bidang Masyarakat dan Hukum Epistema Institute, Yance mengatakan, ada perubahan berarti pada peta politik di daerah Lebak.
"Proses itu sudah berlangsung lama, tapi sekarang ada peluang politik yang lebih terbuka. Wakil Bupati Lebak adalah orang Kasepuhan dan juga merangkap Ketua Dewan juga," kata Yance.
Selepas dari MK, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak kini tengah menggarap peraturan daerah untuk mengakui keberadaan kawasan adat masyarakat Kasepuhan. Pengakuan itu, menurut Yance, selain mengembalikan hak masyarakat adat, juga akan membantu meningkat kesejahteraannya.
"Selama ini masyarakat Kasepuhan tidak dipandang sebagai subyek hukum dan subyek pembangunan. Oleh karena itu penegasan Kasepuhan dalam perda penting untuk mereka mendapatkan kepastian hukum," kata Yance.
Sementara itu, Ketua DPRD Djunaedi Ibnu Jarta mengamini bahwa Perda yang dia targetkan selesai pada akhir tahun ini, nantinya akan dijadikan dasar untuk mengalokasikan anggaran demi menyejahterakan masyarakat Kasepuhan. Dia juga mengakui, latar belakangnya sebagai bagian dari masyarakat adat menjadi salah satu alasan untuk mengupayakan pengakuan hukum.
"Saya ini bagian dari masyarakat adat, saya tidak melihat Kasepuhan hanya sebatas komunitas, tapi sebuah entitas kebudayaan yang harus dilestarikan."
Tak hanya itu, dia juga mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak mengakui masyarakat adat. Selain berkesesuaian dengan konstitusi, peraturan daerah soal pengakuan ini juga tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada di atasnya. Djunaedi mengatakan, yang menjadi kendala dari upaya-upaya sebelumnya adalah ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif untuk mencapai sebuah produk hukum yang mengikat.
"Ada miskomunikasi karena ini juga berkaitan dengan politik," kata Djunaedi.
Dalam upaya merealisasikan peraturan daerah ini pun, bukan berarti tanpa kendala. Djunaedi mengatakan ada tarik ulur kepentingan dan perbedaan pandangan mengenai konsep masyarakat adat itu sendiri. Walau demikian, dia mengaku optimistis peraturan daerah tersebut dapat diselesaikan pada Oktober atau November tahun ini.
"Semua fraksi belum menunjukkan pertentangan, masih kooperatif," ujarnya. Selain itu, perjuangan selama lebih dari satu dekade sudah terlalu berkepanjangan jika tidak segera ditanggapi dengan langkah konkret pemerintah.
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150824002457-20-73963/sepuluh-tahun-lebih-kami-berjuang-di-tanah-sendiri/