Jakarta-Jika tidak ada aral melintang, atau kejadian yang luar biasa, maka pada 19 Desember 2015, sebagian Provinsi, kabupaten/kota di Indonesia bakal menggelar pemilihan kepala daerah secara bersama-sama atau serentak. Dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum baik di tingkat nasional atau lokal, soal partisipasi pemilih selalu menjadi isue menarik. Kalangan pemilih muda, biasanya merupakan kategori pemilih yang tingkat partisipasinya rendah.
Ada beberapa penyebab rendahnya partisipasi para pemilih muda. Para pemilih kelompok ini, umumnya apatis dengan persoalan politik. Mereka kurang tertarik dengan hal-hal berbau politik karena merasa tidak merasa penting untuk terlibat dalam politik. Hal lain, ialah kurang dalamnya pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya partisipasi serta tata cara memberikan suara dalam pemilihan umum.
Dalam sebuah kunjungan Jurnalistik ke Australia beberapa waktu lalu, Sinar Harapan berkesempatan menengok program pendidikan pemilih bagi para pelajar sekolah dasar dan menengah. Program ini diciptakan bukan hanya agar para anak-anak usia sekolah mengetahui pentingnya berpartisipasi dalam pemilu, tapi juga memahami konstitusi dan prinsip-prinsip dasar negara tersebut.
Jangan bayangkan program pendidikan pemilih ini rumit, dengan bertumpuk-tumpuk lembar materi pelajaran dan memakan waktu berhari-hari. Sebaliknya karena program ini untuk para pelajar yang bahkan belum mempunyai hak pilih, maka dirancang dengan menyenangkan. Tujuannya agar pelajar yang mengikuti program bisa menyerap materi dengan nyaman. Programnya pun hanya berlangsung sekitar 50 menit.
Program pendidikan pemilih ini dilaksanakan setiap hari kerja, di sebagian sisi dari gedung lama parlemen Australia, di Canberra yang merupakan ibu kota negeri Kangguru itu. Pada pukul 9 pagi, kunjungan SH bertepatan dengan rombongan pelajar sebuah sekolah dasar. Kami diterima Sally Pertzel, salah seorang pembimbing di program pendidikan pemilih.
Wahana pertama yang kami masuki adalah ruangaan seperti sebuah bioskop kecil. Dalam ruangan ini kami menyaksikan tayangan film tiga dimensi yang menceritakan soal sejarah bangsa Australia. Film tersebut singkat, hanya sekitar 15 menit, tapi isinya padat. Film ini diawali dengan cerita bagaimana kedatangan orang-orang Inggris ke Australia dan membentuk masyarakat. Saat itu, diceritakan, hanya tuan-tuan tanah dan para bangsawan saja yang mempunyai hak suara untuk menentukan kebijakan-kebijakan strategis bagi masyarakat tersebut. Namun kemudian muncul para pejuang-pejuang dari kalangan jelata yang menuntut kesamaan hak-hak politik.
Dari situ secara kronologis mengalirlah cerita-cerita dinamika politik yang kemudian mengantar Australia sampai ke dalam sistem pemerintahan dan demokrasi seperti saat ini. Mulai dari munculnya tokoh perempuan yang juga menyuarakan kesamaan hak bagi kaum hawa dalam politik, hingga perjuangan orang asli Australia yaitu masyarakat Aborigin untuk mendapatkan hak-hak politik yang setara.
Film singkat tersebut mengupas sejarah Australia dan mencoba menjelaskan kepada para pelajar belia bagaimana konstitusi dan nilai-nilai prinsip yang menjadi dasar negara tersebut. Dalam film yang dikemas menarik dan menghibur ini juga dijelaskan sejarah terbentuknya negara-negara bagian, lembaga-lembaga penting pemerintahan seperti House Of Representatif dan The Senate. Setelah film selesai ada sesi tanya-jawab di mana para pelajar bisa menanyakan soal apapun. Bahkan ada yang bertanya bagaimana cara kerjanya mesin yang menciptakan gambar tiga dimensi. Pembimbing juga memberi pertanyaan soal materi film yang dijawab dengan antusias.
Sesi kedua, tidak kalah menyenangkan. Di sesi ini para pelajar terlibat dalam permainan-permainan kelompok yang materinya berkaitan dengan isue kepemiluan di Australia. Para pelajar misalnya mengikuti kuis yang pertanyaannya ada dalam monitor-monitor layar sentuh. Untuk setiap jawaban yang benar, pelajar mendapat poin dan berhak ke pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan-pertanyaan itu sederhana misalnya di usia berapa seorang anggota masyarakat bisa mempunyai hak pilih atau tahapan-tahapan dalam memberi hak suara.
Sesi ketiga, atau terakhir adalah simulasi langsung mengenai tata cara memberikan suara dalam pemilihan. Dalam simulasi, pelajar akan mempraktekan langsung bagaimana memastikan dirinya terdaftar sebagai pemilih, kemudian menggunakan hak pilih, menghitung perolehan suara dan mengkonversikannya sebagai hasil pemilihan umum. Di simulasi pelajar bukan hanya terlibat sebagai pemilih, tetapi juga ada yang berperan sebagai petugas penyelenggara pemilu di tempat pemungutan suara serta saksi.
Pendidikan Kewarganegaraan
Program pendidikan pemilih atau National Electoral Education Centre (NECC) ini diselenggarakan oleh Australian Election Commision (AEC) atau Komisi Pemilihan Umum Australia. Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC Phil Diak mengatakan program NECC adalah bagian dari pendidikan kewarganegaraan di Australia. Pemerintah Australia merasa pendidikan pemilu dan demokrasi sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini.
Materi-materi dalam program ini pun dirancang sedemikian rupa sehingga bisa diterima dengan efektif oleh para pelajar. Secara periodik NECC melakukan evaluasi tentang bagaimana menyelenggarakan program pendidikan pemilih yang baik. Salahsatunya lewat riset yaitu mensurvei para pengunjung mengenai pemahaman mereka soal kepemiluan dan demokrasi setelah mendapat mendapat pendidikan singkat di NECC.
"Kami menanyakan pendapat mereka soal kegiatan ini. Dari situ kami mengukurnya dan menjadi bahan evaluasi untuk digunakan dalam program kependidikan kepemiluan," kata Phil Diak.
Meski program ini terkesan sederhana dan menghibur, namun NECC tidak sembarang merekruit pengajar atau pembimbingnya. Setiap pembimbing juga harus melalui pelatihan-pelatihan mendalam soal pemilu dan demokrasi. Selain itu mereka harus punya keterampilan dan kecakapan mengajar.
Pengunjung program pendidikan pemilu bukan hanya dari sekolah-sekolah di Canberra saja, tapi datang dari seluruh Australia. Setiap hari, rata-rata ada 18 sesi atau 18 kunjungan yang setiap rombongannya bisa mencapai 35 orang. Rata-rata setahun NECC menerima 90 ribu pengunjung yang belajar soal pemilu.
Menurut Phil Diak, tingkat kunjungan tinggi karena rata-rata sekolah di Australia memasukan program NECC sebagai bagian pendidikan kemasyarakatan mereka. Di Canberra, rombongan sekolah bukan hanya bisa mendatangi NECC tapi juga museum Australian War Memorial, Old Parliament House atau gedung lama parlemen australia yang sudah menjadi museum, bahkan berkunjung ke gedung parlemen Australia untuk menyaksikan langsung jalannya sidang-sidang parlemen.
"Jadi Canberra ini sangat strategis. Mereka mengunjungi kegiatan-kegiatan di banyak lokasi yang terintegrasi," papar Phil.
Di Australian War Memorial para pelajar bisa mempelajari kisah-kisah kepahlawanan orang Australia. Bagaimana Australia terlibat di berbagai medan perang untuk membela demokrasi, mulai dari perang dunia pertama, perang Vietnam sampai perang Irak. Menjelang penutupan museum Asutralian Memorial War pada pukul 5 sore hari, selalu ada upacara untuk menghormati para pahlawan-pahlawan Australia. Di Old Parliament House, para pengunjung juga bisa belajar lebih dalam mengenai sistem pemerintahan dan demokrasi di Australia. Terintegrasinya pendidikan demokrasi dan konstitusi Australia mungkin bisa dilukiskan dari lokasi Gedung Parlemen Australia yang berada satu garis lurus menghadap langsung ke Australian War Memorial yan berada di sisi lain kota. Posisi tersebut seolah mengingatkan bahwa apapun yang dilakukan dalam gedung parlemen, harus selalu mengingat perjuangan para pahlawan yang diabadikan di Australian War Memorial. (vidi batlolone)
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150824074/-belajar-pemilu-australia-dalam-50-menit