Semangat ‘merdeka’ yang ke tujuh puluh tahun seakan memasuki seluruh ruang kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Definisi merdeka dimaknai berbagi pihak bermacam-macam selain hakikat 17 Agustus tersebut sebagai rutinitas tahunan jika pada tanggal tersebut bangsa ini menyatakan diri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan bangsa lain.
Belum lagi pemaknaan lain jika sesugguhnya merdeka bukan hanya secara fisik (perang) tapi juga merdeka secara ekonomi, politik, hukum ataupun jajahan model baru dari bangsa lain. Merdeka secara pribadi sebagai hak asasi manusia telah jelas di atur oleh konstitusi jika warga Negara Indonesia punya hak dan kemerdekaan individu masing-masing.
Walaupun juga diatur pada pasal 28J UUD 1945 ayat (2) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pegakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Netralitas PNS
Sejak penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung baik gubernur dan bupati/ walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, selalu menjadi ajang pertarungan oleh para calon pasangan beserta tim pemenangannya untuk meraup suara sebesar besarnya. Selain partai politik dan tim pemenangannya sebagai mesin pengumpul suara, maka berbagai simpul-simpul sipil digerakkan demi meraih suara.
Komunitas, kelompok bahkan organisasi massa dan keagamaan lainnya pun tidak segan-segan memberikan dukungan untuk calon pasangan tertentu. Bahkan PNS/ ASN dijadikan sebagai lumbung suara rill pada setiap perhelatan pilkada. Sementara PNS sebagai aparatur negara yang idealnya tidak terlibat dukung mendukung pun terjebak oleh arus politik praktis demi suatu jabatan atau takut untuk ditempatkan pada posisi tanpa jabatan (non job), karena kelak sang kepala daera-lah yang menentukan jabatan-jabatan strategis pemerintahan daerah.
Begitu banyak aturan untuk netralitas PNS, selain UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga Surat Edaran Kemenpan tentang Netralitas PNS/ ASN pada Pilkada 2015.
Pasal larangan salah satunya menyebutkan jika setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara terlibat kampanye, menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan satu pasangan calon selama kampanye dan mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap pasangan calon.
Tapi coba kita amati, setiap ada momentum pemilihan kepala daerah, selalu PNS-lah yang tampil sebagai salah satu mesin penggerak massa untuk memberikan dukungan kepada calon pasangan tertentu. Walau belum masuk masa kampanye pada pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 ini, berita tentang keberpihakan PNS mendukung calon tertentu sudah bermunculan. Mulai menghadiri deklarasi pasangan calon sampai kesan foto bareng dengan pasangan calon seakan menunjukkan keberpihakan pada calon tertentu.
Belum lagi jika calon tersebut masih pada posisi petahana maka dengan leluasa seorang kepala daerah menggerakkan PNS atas nama tugas kedinasan oleh atasan. Bahkan lebih menariknya jika mendekati tahun pemilihan kepala daerah tersebut, tak ayal lagi secara serta merta hembusan gerbong mutasi kepada para pejabat yang nota bene sebagai PNS yang tidak loyal dan tidak siap mendukung kepala daerah petahana akan dicopot atau bahkan dilepas jabatannya (non job) untuk menghilangkan pengaruhnya, padahal di UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah telah ada larangan bagi kepala daerah petahana untuk melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Politik Praktis
Jika merujuk putusan MK pelanggaran yang dianggap sistematis, terstruktur dan massif pada beberapa pilkada sebelumnya, bentuk pelanggaran tersebut berwujud pada politisasi birokrasi melalui kebijakan pemerintah, menjanjikan PNS serta wujud intimidasi (Perludem, 2013).
Sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih, tidak serta merta dibolehkan untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu pada pilkada. Inilah kenyataan yang terjadi sekarang, suatu kondisi yang tidak jauh beda pada jaman orde baru.
Jika pada Orde Baru PNS bahkan diwajibkan untuk memilih dan memenangkan partai tertentu pada pemilu, sekarangpun sudah hampir mirip dengan jaman tersebut, bedanya hanya pada persoalan dukungan. PNS bukan lagi diwajibkan kepada partai tertentu tetapi dukungan tersebut diwajibkan kepada calon pasangan tertentu pada hajatan pilkada.
Inilah paradoksnya, bagai 2 sisi mata uang yang sangat sulit dipisahkan. Pertama harus menjalankan tugas kedinasan dan setia kepada atasan tetapi satu sisi harus menghindari kegiatan yang memberi dukungan atau terlibat pada kegiatan kampanye. Idealnya seorang PNS harus menempatkan dirinya sebagai seorang aparatur negara dan pelayan masyarakat/public. Tidak usah melakoni peran-peran partai politik dan para politisi untuk terjerumus pada kegiatan politik praktis seperti dukung-mendukung calon pasangan tertentu pada setiap momentum pilkada.
Pertanyaaan yang muncul kembali, apakah mampu seorang PNS murni hanya menjalankan fungsi-fungsi pelayannya, jikalau tidak terlibat politik praktis maka ketakutan untuk menduduki jabatan strategis pemerintahan sangat kecil peluangnya. Walaupun idealnya ada analisa ataupun pertimbangan yang dilakukan untuk mendudukkan seorang PNS pada jabatan pemerintahan tertentu.
Melihat fenomena ini, maka kesadaran PNS untuk ‘Merdeka’ memberikan pilihannya menjadi bagian terbesar dalam meningkatkan kualitas demokrasi di bangsa ini. Kepada para pasangan calon-pun sudah saatnya lebih fair dalam memenangkan kontestasi demi menghindari tuduhan pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif di pilkada 9 Desember 2015.
Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan bersama penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, Panwas) semakin sangat dibutuhkan dalam menyukseskan pilkada serentak tahun ini. Memantau dan mengawasi seluruh tahapan Pilkada yang semakin transparan, kemudian melaporkan pada pengawas pilkada menjadi bagian penting dalam proses partisipasi masyarakat. (*)
Oleh:
Alimuddin Baharuddin
Anggota KPU Sidrap 2013-2018
Sumber: http://makassar.tribunnews.com/2015/08/24/merdeka-memilih-di-pilkada