Jakarta - Di dalam Undang-undang Dasar 1945 tugas dan fungsi seorang Wakil Presiden tak pernah disebut secara rinci. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa, "Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden".
Peran dan fungsi seorang wakil presiden baru bisa dirasakan bila seorang presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya. Tak heran jika kemudian muncul anggapan bahwa seorang wakil presiden hanya sekadar 'ban serep'.
Benarkah dalam perjalanan republik ini seorang wakil presiden alias the second person in the line of power hanya sebagai pelengkap?
Di masa Orde Lama, seorang wakil presiden lebih banyak sebagai pelengkap. Peran dan fungsinya nyaris tak terdengar. Presiden-lah yang menjadi tokoh utama karena memang tak ada ruang bagi seorang wapres untuk memainkan peran.
Bahkan Presiden Sukarno selama hampir sepuluh tahun tak memiliki wakil presiden. Hal itu terjadi setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri pada 1956. Hingga meletakkan jabatan pada Maret 1968, Bung Karno tak memiliki wakil presiden.
Saat kekuasaan beralih ke Presiden Soeharto, situasai tak banyak berubah. Seorang wakil presiden juga tak memiliki ruang untuk menjalankan fungsi dan perannya.
Padahal selama 32 tahun menjadi presiden, Soeharto tercatat memiliki sejumlah wakil presiden. Seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Soetrisno hingga BJ Habibie.
Baru setelah reformasi seorang wakil presiden bisa sedikit leluasa menjalankan fungsi dan peran. Hal itu terjadi saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-Megawati Soekarnoputri menjadi presiden dan wakil presiden.
Saat itu Megawati adalah Ketua Umum PDI Perjuangan yang memperoleh 34 persen suara dalam Pemilu 1999. Sementara Gus Dur yang memimpin PKB hanya bermodal suara jauh di bawah PDI Perjuangan.
Melihat fakta itu muncul wacana agar sebagai wakil presiden, Megawati diberikan peranan yang lebih luas dan vital. Sempat muncul usulan agar Gus Dur menjadi Kepala Negara, sementara Megawati sebagai Kepala Pemerintahan. Namun usul ini ditolak oleh Gus Dur karena dianggap inkonstitusional.
Jalan keluarnya adalah lembaga kesekretariatan di bawah wakil presiden diperkuat. Melalui lembaga kesekretariatan wakil presiden dan kekuatan PDI Perjuangan di parlemen, Megawati bisa menjalankan peran dan fungsi penting sebagai orang nomor 2 di Indonesia. Hal yang hampir serupa terjadi di masa kekuasaan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz.
Beralih ke Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009), seorang wakil presiden bisa menjalankan fungsi dan perannya lebih leluasa. JK terlibat dalam sejumlah pengambilan kebijakan dan ikut menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sebagai wapres, peran JK di bidang ekonomi dan mewujudkan perdamaian di Aceh sangat terasa.
Hal yang hampir sama terjadi saat periode SBY-Boediono. Nah, pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, peran dan fungsi seorang wakil presiden kembali dipertanyakan.
Pertanyaan mengemuka setelah terjadi 'perang' pernyataan antara Wapres Jusuf Kalla dengan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Rizal Ramli.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman mengatakan bahwa peran seorang wakil presiden harus diperjelan. Caranya tentu saja melalui amandemen UUD 1945.
"Jadi apakah sistem presidensial kita sudah kokoh belum, termasuk juga hubungan presiden dan wapres, yang kita baca itu memang kesannya peran wapres seolah-olah sama-sama pembantu dengan menteri. Jadi artinya menurut saya ini harus diperjelas," kata Irman saat berbincang dengan detikcom, Senin (24/8/2015).
Sumber: http://news.detik.com/berita/2999768/peran-dan-fungsi-wapres-dari-zaman-sukarno-sampai-jokowi