Jakarta - Dinamika hubungan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) dewasa ini semakin menguat. Salah satu pangkalnya adalah tidak adanya pembagian yang tegas antara tugas Presiden dan Wapres dalam UUD 1945.
"Itu isu lama, sejak zaman mundurnya Wapres M Hatta pada tahun 1956. Di zaman Orde Baru, Wapres identik dengan tukang potong pita. Dinamika pasang surut sampai dengan Wapres Megawati dan JK," kata ahli hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr Riris Ardhanariswari saat berbincang dengan detikcom, Senin (24/8/2015).
Wapres M Hatta mengundurkan diri pada 1956 karena tidak sepemikiran dengan Soekarno. Alhasil, selama 11 tahun Soekarno memerintah tanpa wakil. Hingga saat ini, tugas Wapres hanya disebutkan dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara Pasal 4 ayat 2:
Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Fungsi pembantu ini juga berlaku kepada menteri sesuai Pasal 17 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
"Kalau seperti ini, Wapres dan menteri ya sama-sama pembantu. Tapi sesama pembantu tidak boleh bertengkar," ujar Riris.
Karena selalu membuat dinamika politik yang tidak baik, maka Riris menilai sudah saatnya diperlukan amandemen UUD 1945, salah satunya menegaskan peran dan tugas Wapres.
"Sepakat jika salah satu poin amandemen adalah dengan memasukkan rumusan yang tegas tentang tugas wakil presiden karena dari perjalanan sejarah memang menunjukan hubungan presiden dan wakil presiden ada pasang surut," ucap Riris.
Permasalahan lain yang harus dibenahi adalah sistem pemilu, sistem kepartaian, pengisian jabatan wakil presiden dan pertanggungjaawaban. Hal ini menjadi satu paket yang saling mempengaruhi dan berkaitan.
"Idealnya tugas Wapres disebutkan dengan tegas di UUD 1945 lalu dijabarkan lebih lanjut dengan UU," tegas Riris.
Meski demikian, formula peran dan tugas Wapres masih sangat dinamis. Apakah nantinya Wapres mengurusi tugas moneter, tugas dalam negeri atau kesejahteraan rakyat. Namun yang pasti, dengan adanya Wapres maka sudah tidak elok jika Menteri Koordinator menjadi banyak.
"Tapi yang pasti jangan sampai Wapres hanya tukang potong pita, harus diberdayakan," beber Riris.
Senada dengan Riris, ahli hukum tata negara dari Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono juga mengusulkan perlu dituliskan dengan tegas dalam UUD 1945 tentang tugas Wapres. Hal ini menjadi isu yang belum selesai dibahas saat MPR mengamndemen UUD 1945 hingga empat kali.
"Sejarah Orde Baru mencatat peran Wapres sebatas untuk hal-hal yang sifatnya seremonial belaka," ujar Bayu.
(asp/van)
Sumber: http://news.detik.com/berita/3000030/ahli-sudah-saatnya-uud-1945-mempertegas-peran-wapres