Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut berlangsung dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Fitriani Ahlan Sjarif, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dihadirkan Pemohon menjelaskan, perumusan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen tidak memenuhi beberapa asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya asas kejelasan tujuan, asas dapat dilaksanakan, serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Terkait asas kejelasan tujuan, Ia memaparkan setiap undang-undang pasti memiliki tujuan pembentukan masing-masing. Tujuan dapat diketahui dari alasan undang-undang tersebut dibuat. Menurut Fitriani, alasan pembentukan UU Perlindungan Konsumen dalam konsiderannya adalah untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia. Kemudian UU tersebut mendefinisikan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen. Untuk selanjutnya, tujuan ini dijabarkan dalam Pasal 3 huruf d dan e UU tersebut yang menyatakan ‘menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan informasi’.
“Ketiga poin tersebut menunjukkan benang merah bahwa undang-undang ini ingin mewujudkan adanya perlindungan konsumen di Indonesia. Dikaitkan permohonan ini, maka perumusan kedua pasal ini belum dapat maksimal menunjukkan perlindungan konsumen yang lebih lengkap,” ujar Fitriani dalam sidang Perkara Nomor 65/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (24/8).
Fitriani menuturkan, konsumen belum mendapatkan perlindungan yang baik apabila hak konsumen hanya sebatas mengetahui kondisi dan jaminan atas produk barang dan jasa saja. Sedangkan pengaturan yang memuat soal hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai pelaku usaha yang bertanggung jawab, yang meliputi nama dan domisili yang lengkap dari badan hukum atau pelaku usaha yang bertanggung jawab, belum ada.
Selanjutnya, asas dapat dilaksanakan serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan pun dinilai Fitriani belum terlihat. “Sesuai dengan tujuan yang telah diuraikan di atas, maka kedua pasal yang dimohonkan diuji tidak akan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan mendapatkan perlindungan konsumen bila tidak ada informasi yang jelas mengenai nama, domisili yang lengkap dari pengusaha yang bertanggung jawab apabila terjadi penuntutan pertanggungjawaban usaha,” jelasnya.
Miliki Kepastian Hukum
Sedangkan ahli yang dihadirkan Pemerintah, Guru Besar Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Acara Perdata Universitas Katolik Parahyangan Benadet Waluyo mengatakan, dalam kasus jual beli kaveling yang dialaminya, Pemohon telah keliru mengajukan gugatan pada pengadilan negeri yang berwenang. Mendasarkan pada permohonan Pemohon, Benadet menyatakan gagalnya gugatan Pemohon disebabkan karena adanya dokumen yang berkaitan dengan jual beli yang tidak diserahkan kepada konsumen, bukan karena nama dan domisili pengembang tidak dicantumkan dalam akta jual beli.
Oleh karena itu, menurut Benadet, inti permasalahan yang dihadapi oleh Para Pemohon bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, melainkan tentang penerapan norma UU Perlindungan Konsumen. “Karena kasus ini merupakan penerapan norma, maka merupakan wilayah hukum acara perdata atau hukum perdata formal,” ujarnya.
Benadet menjelaskan, saat UU Perlindungan Konsumen disusun, telah disadari sepenuhnya bahwa perdagangan barang di Indonesia tidak selalu dilakukan oleh produsen saja. Perdagangan barang terbanyak justru sudah melalui mata rantai perdagangan, mulai dari produsen, distributor, subdistributor, grosir, dan pengecer. “Pengecer inilah yang berhubungan langsung dengan konsumen,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, ada juga perdagangan yang dilakukan melalui agen, importir, waralaba, kerja sama, dan sebagainya, yang secara hukum akan mempunyai akibat hukum berbeda. “Sangat penting untuk menentukan pihak yang paling bertanggung jawab apabila terjadi kerugian pada konsumen. Karena itu, pada Pasal 8 (UU Perlindungan Konsumen) dikemukakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa, dan seterusnya. Kata ‘memproduksi’ itu menunjuk kepada produsen, sedang kata ‘memperdagangkan’ itu bisa merunjuk pada produsen, bisa juga merunjuk pada distributor, grosir, pengecer,” paparnya.
Dengan pola perdagangan yang banyak ragamnya, imbuh Benadet, secara hukum akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda dalam menentukan pelaku usaha mana yang paling bertanggung jawab. Karena itu, pengaturan tentang pencantuman nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab akan menjadi sangat beragam pula, sehingga harus diatur dalam peraturan yang spesifik tentang pelaku usaha tertentu, bukan di dalam UU Perlindungan Konsumen.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan, dalam praktik bisa terjadi kerugian yang dialami konsumen bukan karena kesalahan dari produsen, namun kesalahan dari salah satu pelaku usaha dalam mata rantai perdagangan. Bisa terjadi barang rusak dalam pengangkutan, salah penyimpanan oleh distributor atau pengecer, atau barang kadaluwarsa yang tetap dijual oleh pengecer kendati produsen sudah waktu kedaluwarsa. Oleh karena itu, Benadet menyatakan, tidak adil dan salah menurut hukum acara apabila produsen yang digugat.
Benadet menilai, Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen telah memberikan hak pada konsumen. Begitu pula Pasal 7 huruf b UU yang sama, telah memberikan kewajiban pada pelaku usaha. Aturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha sehingga terwujud keadilan. Untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, UU Perlindungan Konsumen pun mengaturnya dalam Pasal 19 yang bertalian dengan Pasal 23.
Menurut ketentuan Pasal 19 dan Pasal 23 UU Perlindungan Konsumen, tutur Benadet, apabila konsumen dirugikan, yang pertama kali dilakukan oleh konsumen adalah kembali kepada pelaku usaha agar pelaku usaha bertanggung jawab. Apabila pelaku usaha tidak mau bertanggung jawab, konsumen dapat menggugat pelaku usaha. Cara konsumen menggugat pelaku usaha diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, yaitu menunjuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di setiap kabupaten/kota atau melalui pengadilan negeri.
Oleh karena itu menurut Benadet, ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen sudah memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum, dan bahkan keadilan dalam penerapan norma. “Apabila ketentuan tersebut dimaknai seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon, yaitu ‘serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab’ justru akan menimbulkan ketidakadilan, terutama untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang paling bertanggung jawab,” tegasnya.
Pada persidangan sebelumnya, tiga orang warga negara, Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro menguji ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen. Samuel sebagai Pemohon I menyatakan, Pasal 4 huruf c terkait hak para konsumen, tidak mencantumkan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum dari produk barang dan atau jasa yang dibeli. Hal tersebut dapat merugikannya sebagai konsumen.
Pasal 4 huruf c:
“Hak Konsumen adalah: c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa”
Pasal 7 huruf b:
“Kewajiban Pelaku usaha adalah: b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘hak atas informasi atas nama dan domisili lengkap badan usaha yang bertanggung jawab terhadap barang/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau dijual’. Sedangkan untuk dan Pasal 7 huruf b Perlindungan Konsumen, Pemohon meminta pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab’. (Lulu Hanifah/IR)