Para mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (24/8) pagi. Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Nallom Kurniawan, di Aula Gedung MK.
“Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dipercaya menjadi Presiden MK se-Asia. Bahkan salah satu lembaga riset Amerika mengatakan, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menjadi salah satu dari 10 Terbesar lembaga yudisial di dunia. Ini bisa jadi motivasi bagi kita semua,” ungkap Nallom pada awal pertemuan. “Tak mengherankan, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi banyak dikutip berbagai kalangan,” tambah Nallom.
Kemudian, Nallom menyinggung masalah demokrasi di Indonesia. “Bicara demokrasi, maka kita bicara one man, one vote, one value, pertama masalah itu. Kedua, bicara demokrasi maka terkait dengan heterogenitas dari aspek kewarganegaraan,” ucap Nallom.
Dikatakan Nallom, berbagai suku bangsa, agama, ras tumbuh di Indonesia. “Tetapi kita menghargai heteroginitas ini, adanya beragam suku bangsa, penganut agama, penganut keyakinan, dan sebagainya dari penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa,” ujar Nallom.
Lebih lanjut Nallom menjelaskan bahwa salah satu kewenangan MK adalah menegakkan prinsip negara hukum, konflik-konflik yang bersifat demokrasi, serta disharmoni antara norma undang-undang dengan norma Undang-Undang Dasar, maupun perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
“Semuanya diselesaikan di MK dan hal-hal lainnya yang menjadi kewenangan MK. Itu pada prinsipnya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Saya kira, tidak ada sistem di mana pun di dunia yang sempurna,” urai Nallom.
Nalom menyampaikan, pasca reformasi 1998 Indonesia baru satu kali melakukan amandemen UUD 1945 melalui 4 tahap (1999-2002). Mengenai proses perubahan UUD 1945, kata Nallom, juga sudah terangkum dalam buku ‘Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945’.
“Pertanyaan selanjutnya, apakah perubahan UUD 1945 sudah cukup sampai di sini? UUD 1945 masih belum sempurna. Namun ada satu hal yang bersifat psikologis historikal. Mungkin karena sudah terdidik lama di orde baru, kita cenderung ragu. Bahkan masih banyak yang menganggap UUD 1945 sebelum perubahan adalah yang lebih baik,” papar Nallom.
“Dalam pengamatan saya, itu sudah pada track yang benar. Tapi proses perubahan harus tetap digulirkan. Kemudian kalau UUD 1945 dikatakan tidak sempurna, ya memang tidak sempurna dan tinggal diubah. Negara besar seperti Amerika Serikat saja sudah mengubah UUD 1945 lebih dari 45 kali,” pungkas Nallom. (Nano Tresna Arfana)