Proses konsolidasi demokrasi di era refromasi telah bergerak dari pendulum yang otoriter dan nondemokratik, ke arah pendulum sebaliknya. Proses perubahan pendulum tersebut, harus disesuaikan dengan kehendak Konstitusi. Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dalam Seminar Ketatanegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fraksi PDI Perjuangan yang diselenggarakan di Ruang GBHN, Komplek Gedung Parlemen Jakarta, Kamis (20/8). Seminar tersebut mengangkat tema “Mengkaji Pikiran Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Ke-5 Hj. Megawati Soekarnoputri Tentang MPR RI dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dengan sub topik ‘Mentransfer Gagasan Kenegaraan Melalui Media Massa’.
“Proses konsolidasi demokrasi yang terjadi di era reformasi ini berubah dari satu pendulum, ke pendulum yang lain secara ekstrim. Jadi kalau semua berada di pendulum sebelah kiri ekstrim di era totaliter, otoriter, non demokratik, berubahnya ke arah pendulum sebaliknya secara ekstrim, tidak didudukkan sebagaimana yang diinginkan oleh dasar negara dan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Arief.
Kemudian menyikapi persoalan bangsa yang terjadi akhir-akhir ini, Arief melihat aspek kultural menjadi kunci dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. Menurutnya, struktur institusi dan substansi hukum masih perlu dilengkapi dengan adanya kultur yang baik. “Aspek struktur institusi dan aspek substansi hukum yang tidak baik, kalau itu didukung oleh kultur yang baik, budaya politik yang baik, budaya hukum yang baik, maka sebetulnya kelemahan-kelemahan di bidang struktur institusional dan substansi hukum bisa tertutupi,” kata Arief.
Lebih lanjut Arief memaparkan, produk hukum yang dibentuk juga harus minim dari adanya celah, sehingga keberlakuannya dapat ideal. Banyaknya undang-undang yang dibentuk dalam sebuah negara belum tentu menjamin perwujudan negara hukum. Sebaliknya, akan muncul kencenderungan menjadi negara undang-undang.
“Semakin banyak diatur dengan undang-undang maka semakin banyak lubang-lubang yang kemudian bisa diterobos. Membuat Undang-Undang itu pada tataran konsep yang ada di belakang pemikiran dan ide itu ideal, tapi begitu dituangkan dalam hukum tertulis dalam undang-undang, maka terjadi reduksi-reduksi. Tidak semua ide atau konsep yang ideal dalam pikiran mampu tertuang dengan baik dalam bahasa undang-undang, karena bahasa undang-undang terbatas,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
Persoalan lain yang menurut Arief perlu segera diatasi adalah persoalan sinergi elemen bangsa yang dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan sesaat karena disorientasi tujuan dalam bernegara. Hal itu menurutnya menimbulkan ego sektoral antar kelompok dan lembaga, yang akhirnya justru menimbulkan pembangkangan dari rakyat dan akhirnya akan mengakibatkan disintegrasi.
“Kita sekarang ini punya penyakit, kita itu bergabung, kita itu bersama bukan didasarkan pada sinergi yang tulus, sinergi untuk kepentingan jangka panjang, sinergi untuk bangsa dan negara tapi untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Sekarang saudara bisa lihat fragmentasi-fragmentasi negara ini kelompok-kelompok masyarakat itu hanya berdasar kepentingan-kepentingan praksis,” kata Arief.
Di akhir pemaparannya, Arief menilai perlunya penataan struktur lembaga di Indonesia sehingga dapat minim struktur, namun kaya fungsi. Menurut Arief, terdapat sebuah fenomena, ketika terjadi masalah, maka cara penyelesaian yang ditawarkan adalah dengan membentuk komisi baru. Arief kemudian mengingatkan, dalam melakukan penataan lembaga harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan sebuah lembaga atau komisi negara. (Ilham WM/IR)