REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sejak keran demokrasi terbuka pascareformasi 1998, kebebasan berekpsresi dan me nge luarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Kritikan pedas yang mengarah kepada penghinaan kepala negara pun tak lagi termasuk kategori kriminal.
Apalagi menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap presiden. Namun belakangan, pemerintah justru memunculkan wacana menghidupkan kembali pasal itu. Tak elak, rencana tersebut kembali menuai pro dan kontra masyarakat, tak terkecuali dari para aktivis muda Islam.
Ketua II Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PBPMII), Erfandi, mengatakan, pada era reformasi seperti sa- at ini adalah sebuah konsekuensi sebagai pemimpin harus tahan atas kritik dan hinaan. "Menjadi pemimpin itu harus siap kritik dan hinaan," ujarnya kepada Republika, Kamis (20/8).
Menurut dia, pemimpin termasuk presiden yang antikritik dan hinaan merupakan karakter mereka yang tidak cocok memimpin bangsa seperti Indonesia. Ia juga memandang sikap Presiden Joko widodo yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden sebagai pilihan yang tidak perlu. Ini lantaran MK telah membatalkan dan menghapus pasal tersebut pada era presiden sebelumnya.
Sehingga, kata dia, bila dihidupkan kembali, sangat bertentangan dengan aturan hukum dan konstitusi yang telah dipercayakan kepada MK. "Presiden itu lembaga negara, bukan orang atau individu," paparnya.
Sedangkan, tolok ukur kewibawaan lem baga negara adalah sejauh mana melaksanakan amanat konstitusi. Bila presiden tidak menjalankan konstitusi, seperti menyejahterakan rakyat atau menaati aturan perundang-undangan, maka wajar kalau kewibawaannya hilang.
Sedangkan, kata dia, tolok ukur pasal penghinaan itu jelas kepada individu. Hal itu telah diatur dalam undang-undang dalam delik aduan, dan siapa pun warga negara bangsa ini punya hak bila secara pribadi mengajukan gugatan hukum secara individu bila ada pihak yang sengaja menghina pribadinya. "Jadi untuk pribadi sudah diatur, bukan hanya untuk presiden, bahkan seluruh warga negara selama ada bukti penghinaan atau fitnah," paparnya.
Dari sisi aturan hukum menurut dia sudah sangat jelas, perbedaan antara kritik dan hinaan atau fitnah berikut jalur hukumnya. Dengan demikian, sudah sangat tidak perlu dan tidak relevan lagi pasal penghinaan presiden tersebut dihidupkan kembali. Sebab, bila itu tetap dihidupkan, bisa menjadi senjata pemerintah untuk bersikap otoriter layaknya yang terjadi pada era sebelum reformasi. "Dan kami sangat menolak hal itu."
Kritik yang sama disampaikan Pimpinan Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI). Ketua Umum PP KAMMI, Andriyana, dalam keterangan tertulisnya menegaskan, sudah 17 tahun reformasi menjadi momentum yang menandai berakhirnya rezim otoriter. Eranya kini su dah terbuka dan transparan. Orang boleh mengkritik apa pun asal dalam koridor etika dan undang-undang. "Jadi janganlah berusaha kita kembali ke masa lalu itu," tuturnya.
Karena itu, wacana untuk mengekang kritik terhadap presiden dikhawatirkan akan mengerangkeng kebebasan berpendapat dan bisa mencederai demokrasi Indonesia yang sedang membaik. Ia juga menegaskan, selama ini masyarakat dan mahasiswa mengkritik ide, gagasan, atau kebijakan bukan personal pribadi presiden. Jadi, selama kritik itu bertumpu pada ide, gagasan dan kebijakan yang di keluarkan presiden atau pemangku jabatan lainnya.
"Jadi pejabat negara harus siap dikritisi," katanya. Pejabat publik sudah menjadi milik publik, yang perkataannya, perbuatannya serta ekspresinya pasti dalam pengawasan publik. Semestinya pejabat menyadari hal itu. "Jika antikritik jangan jadi pejabat publik," katanya menegaskan.
Andriyana meng akui, media sosial kini menjadi sarana ampuh untuk menyampaikan kritik dan sindiran. Sebab, dari sanalah sumber informasi alternatif di luar media arus utama itu hadir memberikan pilihan validasi informasi.
Medial sosial menjadi sarana yang ia anggap lebih jujur berbicara dalam banyak hal. Jadi, mengkritisi pemerintah melalui media sosial kini menjadi pilar dalam sebuah pergerakan modern. Namun, tentunya kritik di media sosial pun bisa terjadi bias.
Ia menyebutkan, sebab itu ada koridor aturan "bermain" di dunia maya seperti tertuang dalam UU ITE. Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik dan sara sudah diatur baik. Undang- undang di atas menjadi rambu-rambu bagi para pegiat media sosial agar berhati-hati melontarkan kritik dan menghindari menyebar fitnah serta hinaan. Oleh Amri Amrullah ed: Nashih Nashrullah
Etika Menasihati Pemimpin
Islam mengajarkan umat Islam mengedepankan akhlak terpuji dalam setiap urusan muamalah sesama manusia. Namun, Islam juga menegaskan kepada umat agar tetap berpegang pada prinsip mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ini merupakan bentuk membantu dan mengingatkan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
"Dalam Islam menyampaikan kritik terhadap pemimpin boleh asalkan sesuai adab, akhlak yang baik dan tidak dengan fitnah serta hinaan," ujar Erfan Ketua II PB PMII. Hal itu berbeda dan bahkan dilarang dalam Islam dengan mencaci yang tidak memiliki bukti, apalagi sifatnya tendensius.
Islam tidak menolak bentuk kritikan apa pun terhadap pemimpin. Hanya saja metode yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan cara tetap bertabayun dan mempertimbangkan prinsip kebijaksanaan dan penyampaian pesan dengan arif.
Ketua PP KAMMI, Andriyana, melihat memang ada yang perlu diperbaiki dalam pola komunikasi dan kritik yang disampaikan dalam era keterbukaan saat ini, yakni di sisi etika personal yang abai terhadap undang-undang yang berlaku. Agama telah menegaskan, selama pemimpin berpegang pada prinsip saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, itu jauh lebih baik menurut Islam dibanding pemimpin yang tanpa kritik sama sekali.
Sebab, ungkap dia, bila tidak ada kritik justru pemimpin tersebut akan merugi. Ini seperti penegasan surah al-Ashr ayat ketiga, "Terkecuali orang-orang yang beriman serta melaksanakan berbagai kebajikan, saling mengingatkan supaya menjunjung kebenaran dan saling mengingatkan supaya teguh dalam kesabaran."
Bahkan, kata dia, Islam memberikan tuntutan bahwa kritikan yang disampaikan kepada penguasa zalim memiliki keutamaan yang besar, tetapi tentu tetap memperhatikan prinsip-prinsip nasihat yang bijak, seperti dengan kata lemah lembut sebagaimana diteladankan Nabi Musa AS ketika berdialog dengan Firaun.
Oleh Amri Amrullah
ed: Nashih Nashrullah
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj7oi1-pemimpin-harus-legawa-dikritik