REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Para pakar berpendapat, pergantian kepala negara yang diharap dapat menjadi solusi perbaikan bangsa pun sering kali masih menghadapi masalah pelik dalam teknis penyelenggaraan negara. Sebab, mereka berhadapan dengan hasil amandeman Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini dianggap menjadi problem ketatanegaraan yang paling mendasar.
Dalam Pekan Konstitusi sekaligus memperingati 70 tahun Indonesia merdeka, Universitas Islam Indonesia (UII) berupaya mengkaji problem ketatanegaraan dari hasil amandemen UUD 1945, yang masih menyisakan permasalahan bagi konstitusi di Indonesia. Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) UII Anang Zubaidy mengatakan, sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia memiliki dasar negara berupa konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945.
Keberadaan UUD 1945 merupakan fondasi penting dalam menjalankan sistem pemerintahan Indonesia. Dari waktu ke waktu, UUD 1945 mengalami beberapa amandemen agar tetap selaras dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Meski begitu, perjalanan konstitusi Indonesia pascaamandemen masih menyisakan segudang persoalan yang harus diselesaikan.
Perubahan yang secara radikal terhadap ketentuan pasal di dalam UUD 1945 telah mengakibatkan ketidakjelasan arah substansi konstitusi dan mengalami kekaburan. "Beberapa hal yang menjadi kabur akibat amandemen tersebut adalah sistem parlemen antara soft bicameral atau strong bicameral, checks and balances antara eksekutif dan legislatif yang tak imbang," ujarnya di Fakultas Hukum UII, Selasa (19/8).
Lebih jauh, Anang menjelaskan, jika yang dianut adalah sistem perwakilan dua kamar maka pemosisian kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang setengah hati tidaklah tepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan perancangan ulang sistem tersebut dengan memberikan kewenangan penuh kepada DPD. Hal itu, mengingat perkembangan aspirasi daerah berjalan demikian cepat dan pesat yang harus senantiasa diakomodasi dengan produk peraturan perundang-undangan.
"Dengan kewenangan penuh yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya dalam proses legislasi dan pengawasan maka aspirasi tersebut diharapkan dapat cepat terealisasikan," jelasnya. Ia juga menjelaskan bahwa gagasan untuk mengurangi kewenangan presiden di dalam UUD 1945 sebelum amandemen sudah tepat. Tetapi, menjadi tidak tepat jika hal itu hanya dilakukan dengan memindahkan konsentrasi kekuasaan di DPR sehingga proses checks and balances juga tidak terjadi.
Praktiknya dikebiri
Dosen hukum tata negara FH UII, Jamaludin Ghafur, mengungkapkan hal yang sama. Menurut dia, format lembaga perwakilan Indonesia tidak jelas apakah menganut bikameral atau trikameral.
Salah satu buktinya adalah kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tidak jelas karena fungsinya bersifat insidental. Hal yang sama, ia menyoroti pada lembaga lain seperti DPD.
Meskipun lembaga ini memiliki legitimasi yang kuat karena diatur di dalam konstitusi, tetapi dalam praktiknya justru dikebiri. "DPD memiliki legitimasi yang kuat, tetapi dengan `tidak' memiliki kewenangan," katanya menegaskan. Ia pun mengusulkan, ke depan perlu penegasan format lembaga perwakilan apakah bikameral atau trikameral. Kemudian, juga harus memperbaiki mekanisme dalam pembentukan undang-undang.
Dekan Fakultas Hukum UII, Aunur Rohim Faqih, memberikan perhatian penting pada Pekan Konstitusi ini yang dianggapnya sebagai masukan dalam mengatasi problematika ketatanegaraan di Indonesia. Kegiatan ini juga merupakan persembahan bagi almarhum Prof Dr Dahlan Thaib, pakar hukum tata negara UII yang dianggap telah berjasa besar memberikan sumbangsih pada problematika ketatanegaraan selama ini.
Prof Dr Dahlan Thaib tercatat sebagai anggota Komisi Konstitusi yang memberikan masukan kepada MPR bagi penyempurnaan proses amandemen UUD 1945 kala itu. Di luar itu, karya-karya di bidang hukum tata negara, hingga kini masih bisa "dinikmati" oleh pemerhati dan pembelajar konstitusi dan hukum tata negara Indonesia. Untuk itu, Aunur Rohim berharap PSHK UII konsisten memberikan penghormatan terhadap para guru-guru dan seniornya.
Selain itu, PSHK pun diharapkan menjaga tradisi kegiatan Pekan Konstitusi ini sebagai media siar ilmu pengetahuan dan penyadaran kepada publik, khususnya dalam bidang hukum ketatanegaraan dan konstitusi yang dianggap masih menyisakan banyak problematika sejak amandemen UUD 45. Pekan Konstitusi FH UII juga melakukan eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XII/2014, berkaitan dengan kewenangan DPR dalam proses pengisian jabatan komisioner Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Putusan tersebut berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya yang berkaitan dengan pengisian jabatan komisioner KY dan KPK. Dengan demikian, Aunur Rohim mengatakan, kegiatan semacam Pekan Konstitusi ini menjadi media efektif untuk menyampaikan dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj7w91-pekan-konstitusi-uii-kaji-problem-ketatanegaraan