Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sidang perkara nomor 67/PUU-XIII/2015 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan permohonan Pemohon terkait aturan biaya menghadirkan ahli dalam persidangan adalah persoalan implementasi norma.
Diwakili Anggota Komisi III DPR Muslim Ayub, DPR menjelaskan, ketentuan Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak mendapatkan penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut, lanjut Muslim, menghendaki agar materi muatan mengenai biaya saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan diatur dalam paraturan perundang-undangan tersendiri karena materi muatan tersebut bukan materi muatan KUHAP.
“Jika dalam praktiknya, biaya pemanggilan ahli yang seharusnya ditanggung oleh pihak yang memanggil dalam hal ini penyidik, justru ditanggung oleh pihak yang berperkara, bukan berarti norma tersebut yang inkonstitutional, melainkan penegakkan norma yang tersebutlah yang perlu diperbaiki,” jelas Muslim dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta (20/8).
Lebih lanjut, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa ‘mendatangkan seorang ahli’ dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Polri dan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP tidak disertai parameter yang jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga dapat memberikan ruang subjekvitas kepada penyidik, adalah tidak tepat.
Menurut DPR, adanya pembatasan tugas kepolisian untuk mendatangkan ahli jika penyidik belum menemukan minimal dua alat bukti, justru dapat mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, penyidik tidak dapat memanggil ahli apabila sudah menemukan dua alat bukti, padahal tujuan memanggil ahli adalah untuk membuat terang tindak pidana. “Penyidik bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi, semakin banyak alat bukti yang ditemukan, maka semakin terang tindak pidana yang terjadi, sehingga dapat meminimalisasi orang yang tidak bersalah menjadi terpidana,” imbuhnya.
Sementara, Polri sebagai pihak terkait diwakili Divisi Hukum Mabes Polri Kombespol Sis Mulyono memaparkan, mendatangkan ahli yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara merupakan bagian dari tugas Polri dalam rangka melaksanakan penegakkan hukum. Kemudian terkait permasalahan yuridis yang dialami oleh Pemohon, menurut Polri hal tersebut merupakan masalah teknis implementatif.
“Dari permohonan yang didalilkan oleh Pemohon, permasalahan yang terjadi ada pada teknis implementasi undang-undang, dan bukan pada permasalahan substansi suatu undang-undang. Bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji permohonan a quo, dengan demikian permohonan Pemohon selayaknya tidak dapat diterima,” ujar Sis.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukumnya, merasa dirugikan hak konsitusionalnya akibat berlakunya Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Polri dan Pasal 7 ayat (1) huruf h, Pasal 120 ayat (1) serta Pasal 229 ayat (1) KUHAP. Ketentuan yang diuji tersebut mengatur tentang kewenangan penyidik untuk mendatangkan saksi/ahli dalam pemeriksaan perkara dan penggantian biaya saksi/ahli yang datang. Pasal-pasal dimaksud dinilai Pemohon berpotensi merugikan dan menghalanginya dalam mencari keadilan serta menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Misalnya saja Pasal 229 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Saksi atau Ahli yang telah hadir dalam rangka pemeriksaan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak mendapatkan penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pemohon berpendapat, negara tidak pernah menerbitkan peraturan perundangan yang mengatur secara konkret penggantian biaya saksi/ahli sebagaimana tercantum dalam Pasal 229 ayat (1) KUHAP. Untuk itu, dalam konteks penegakan hukum, menurutnya ketentuan ini dapat dijadikan sebagai sarana bisnis yang tak terkendali. Hal tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
Pemohon mengatakan, meskipun secara teori biaya pemanggilan saksi/ahli tergantung siapa yang memanggil, pada praktiknya biaya tersebut selalu dibebankan kepada yang berperkara karena tidak adanya tolok ukur dan parameter besarnya penggantian biaya. Oleh karena itu, Pemohon meminta frasa ‘penggantian biaya’ dalam Pasal 229 ayat (1) KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘penggantian biaya adalah penggantian transportasi dan akomodasi’.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa ‘dalam hal penyidik menganggap’ dan frasa ‘seorang ahli’ dalam Pasal 120 ayat (1) KUHAP inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘jika penyidik belum menemukan minimal dua alat bukti yang sah’ dan ‘seseorang yang mempunyai keahlian khusus’. Terakhir, Pemohon meminta MK menyatakan frasa ‘mendatangkan’ dan frasa ‘orang ahli’ dalam Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘jika penyidik belum menemukan dua alat bukti yang sah dan orang yang mempunyai keahlian khusus’. (Lulu Hanifah)